JAKARTA, KOMPAS.com - Penghapusan ketentuan soal pengetatan syarat pemberian remisi untuk narapidana koruptor dinilai sebagai kemunduran dalam agenda pemberantasan korupsi.
Penghapusan itu dilakukan Mahkamah Agung (MA) melalui putusan uji materi empat pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Ini makin menunjukkan bahwa kita set back dalam agenda pemberantasan korupsi,” kata mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana kepada Kompas.com, Jumat (29/10/2021).
Baca juga: Korupsi Diprediksi Meningkat Setelah Pengetatan Syarat Remisi Koruptor Dihapus MA
Menurut Denny, semangat pemberantasan korupsi yang menjadi cita-cita reformasi perlahan dilumpuhkan.
“KPK sudah mati suri melalui perubahan Undang-Undang (KPK), pengetatan remisi kembali dihilangkan, sehingga sebentar lagi kita akan kembali mengalami obral remisi,” kata dia.
Berdasarkan PP Nomor 99 Tahun 2012, pemberian remisi dapat dilakukan jika narapidana kasus korupsi bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara atau berstatus justice collaborator.
Status tersebut dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan Agung.
Syarat lainnya, narapidana telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Namun, syarat tersebut dihapus melalui putusan MA yang mengabulkan uji materi Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat 1 huruf a, serta Pasal 43A ayat (3) PP 99/2012.
Dengan demikian pemberian remisi untuk narapidana korupsi tidak dibedakan lagi. Syarat pemberian remisi untuk koruptor sama dengan narapidana kasus tindak pidana lain.
“Dan kita akan semakin permisif pada terhadap para pelaku korupsi,” kata Denny.
Baca juga: MA Cabut PP 99 Tahun 2012, Koruptor Lebih Mudah Dapat Remisi
Adapun, uji materi diajukan oleh Subowo dan empat rekannya yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Para pemohon menguji empat pasal terkait syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
MA mengabulkan permohonan uji materi dengan beberapa alasan. Pertama, pemidanaan tidak hanya dilakukan dengan memenjarakan pelaku agar memberikan efek jera, namun juga harus sejalan dengan prinsip restorative justice.
Kedua, narapidana adalah subjek yang sama dengan manusia lainnya, sehingga sangat mungkin melakukan kekhilafan. Maka, yang harus diberantas bukan narapidananya, namun faktor-faktor yang menyebabkan tindakan pidana itu terjadi.
Alasan ketiga yakni persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh dibeda-bedakan.
MA juga menilai syarat pemberian remisi di luar syarat pokok semestinya menjadi hak remisi di luar hak hukum yang telah diberikan.
Sebab, segala fakta di persidangan telah menjadi pertimbangan hakim untuk memperberat hukuman.
Terakhir, MA berpandangan pemberian remisi merupakan kewenangan Lapas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.