Namun di saat yang bersamaan, pemerintah pusat melalui Permenhub No 18 Tahun 2020 memperbolehkan ojek online mengangkut orang. Di poin ini, terjadi disharmoni aturan.
Kebijakan terbaru dalam penanganan Covid-19 ini juga tak luput dari sikap inkonsistensi. Seperti tidak dimasukannya data kematian akibat Covid-19 dalam penentuan kebijakan PPKM.
Alasannya, data kematian tidak aktual dan tidak real. Meski pemerintah belakangan berkomitmen akan memasukkan data kematian sebagai basis penentuan kebijakan setelah terjadinya perapihan data.
Persoalan krusial lainnya yang belakangan juga muncul soal kewajiban masyarakat untuk mengantongi hasil negatif melalui tes antigen/PCR saat berkunjung ke pusat perbelanjaan.
Ide tersebut muncul dari Kementerian Perdagangan. Sontak saja, gagasan ini menimbulkan polemik. Di poin ini, koordinasi antar lembaga dalam penanganan Covid-19 ini tampak tak solid.
Kebijakan hukum penanganan Covd-19 semestinya bertumpu dari sisi hulu hingga hilir secara holistik. Dari sisi hulu, pelaksanaan kebijakan berupa tes (testing), lacak (tracing), isolasi/perawatan (treatment) dan vaksinasi harus senantiasa konsisten dilakukan secara disiplin dan baik.
Di sisi hilir, ketersediaan fasilitas kesehatan (faskes), obat-obatan hingga tenaga kesehatan menjadi kebutuhan yang harus tersedia.
Kebijakan hukum penananganan Covid-19 secara ideal harus mampu memotret kebutuhan dalam penanganan Covid-19 secara komprehensif. Kebijakan hukum pemerintah juga dituntut untuk mencerminkan aspek kemanusiaan dan keadilan kepada semua pihak.
Atas kondisi obyektif tersebut, penanganan Covid-19 agar dalam rel yang tepat harus bertumpu pada politik hukum pemerintah yang tepat.
Ketepatan politik hukum tersebut berjalin kelindan dengan perumusan kebijakan yang bertumpu pada kemaslahatan banyak orang.
Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021) tidak menampik bila kebijakan dalam penanganan Covid-19 dinilai tidak konsisten dan kerap berubah-ubah.
Presiden beralasan, perubahan kebijakan penanganan Covid-19 tidak terlepas dari upaya mencari kombinasi yang baik antara kepentingan kesehatan dan kepentingan perekonomian masyarakat.
Pilihan politik hukum pemerintah dalam penanganan Covid-19 hakikatnya bagian dari kewenangan terikat maupun kewenenagan bebas (diskresi) yang dimiliki pemerintah.
Rumusan kebijakan pemerintah bisa jadi merupakan bagian dari pendelegasian dari aturan di atasnya maupun kebijakan hukum pemerintah yang menjadi bagian dari kewenangan bebas yang dimiliki pemerintah.
Namun, apapun model dan pilihan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah, catatannya tidak boleh keluar dari bingkai konstitusi dan demokrasi.