Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdian Andi
Peneliti dan Dosen

Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) | Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Politik Hukum Pandemi Kunci Merdeka dari Covid-19

Kompas.com - 17/08/2021, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN ini Indonesia memeringati hari ulang tahun kemerdekaan ke-76. Peringatan hari kemerdekaan ini teah dua kali dilakukan dalam situasi pandemi Covid-19.

Bedanya, di awal Agustus tahun ini warga Indonesia yang meninggal akibat Covid-19 telah di angka 100 ribu lebih. Sedangkan setahun lalu, tepat pada 17 Agustus 2020, warga Indonesia yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 6.207 orang.

Tahun lalu, harapan merdeka dari pandemi Covid-19 juga telah dirapalkan. Meski dalam kenyatannya, kemerdekaan dari pandemi itu tak kunjung tiba.

Alih-alih Indonesia keluar dari krisis kesehatan, pada Juni-Juli lalu justru paparan Covid-19 berada di posisi puncaknya. Bahkan, dalam beberapa hari, Indonesia menyumbang angka kematian tertinggi di dunia.

Situasi krusial ini tentu tidak terlepas dari pilihan kebijakan hukum yang dipilih oleh pemerintah dalam penanganan Covid-19. Kebijakan hukum pemerintah di masa pandemi sejak Maret 2020 lalu menjadi penentu dalam pengendalian dan penanganan Covid-19 di Indonesia.

Selama 1,5 tahun terakhir ini, kebijakan hukum pemerintah yang diterbitkan mengalami pasang surut. Kadang mengetat, kadang pula mengendur.

Dinamika kebijakan tersebut refleksi dari pilihan pemerintah antara penyelesaian pandemi atau penyelamatan ekonomi. Walhasil, kebijakan hukum yang up and down itu membuahkan penanganan Covid-19 di Indonesia yang cenderung tidak fokus dan terarah.

Simak saja berbagai kebijakan penanganan Covid-19 tersebut. Mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (Maret-Mei 2020), PSBB Transisi (Juni-Agusus 2020), PSBB Ketat (September-Oktober 2020), dan PSBB Transisi (November-Desember 2020). Di fase ini, pemerintah mendasar pada PP No 21 Tahun 2020 tentang PSBB.

Fase berikutnya, pemerintah tak lagi menggunakan payung hukum PP No 21 Tahun 2020, namun menggantinya dengan beleidregels melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) dengan sejumlah perubahan.

Fase ini menggunakan nomenklatur Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat/PPKM (Januari-Februari 2021), PPKM Mikro (Februari-Juni 2021), PPKM Darurat (3 Juli-20 Juli 2021), PPKM Level 3-4 (21 Juli – 16 Agustus 2021).

Sengkarut politik hukum

Kegamangan pilihan kebijakan hukum pemerintah dalam penanganan Covid-19 teridentifikasi secara konsisten sejak awal pandemi ditemukan di Indonesia.

Kegamangan itu dapat dilihat mulai dari disharmoni antarkebijakan, tidak sinkronnya kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat hingga pengawasan kebijakan di lapangan. Efeknya, penanganan pandemi Covid-19 tampak tidak efektif.

Berbagai kebijakan hukum yang dituangkan melalui peraturan (regeling) maupun keputusan (beschikking) pemerintah dalam penanganan Covid-19 yang dimulai sejak Maret 2021 hingga Agustus 2021 ini menunjukkan ikonsistensi kebijakan. Padahal, dalam penanganan Covid-19 ini dibutuhkan konsistensi kebijakan yang terarah dan terukur.

Sejumlah kontradiksi yang muncul dalam politik hukum penanganan Covid-19 ini dapat dirunut sejak awal pandemi ini mengemuka.

Seperti saat awal pandemi, kebijakan yang dituangkan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah yang di antaranya kebijakan larangan ojek online mengangkut orang.

Namun di saat yang bersamaan, pemerintah pusat melalui Permenhub No 18 Tahun 2020 memperbolehkan ojek online mengangkut orang. Di poin ini, terjadi disharmoni aturan.

Kebijakan terbaru dalam penanganan Covid-19 ini juga tak luput dari sikap inkonsistensi. Seperti tidak dimasukannya data kematian akibat Covid-19 dalam penentuan kebijakan PPKM.

Alasannya, data kematian tidak aktual dan tidak real. Meski pemerintah belakangan berkomitmen akan memasukkan data kematian sebagai basis penentuan kebijakan setelah terjadinya perapihan data.

Persoalan krusial lainnya yang belakangan juga muncul soal kewajiban masyarakat untuk mengantongi hasil negatif melalui tes antigen/PCR saat berkunjung ke pusat perbelanjaan.

Ide tersebut muncul dari Kementerian Perdagangan. Sontak saja, gagasan ini menimbulkan polemik. Di poin ini, koordinasi antar lembaga dalam penanganan Covid-19 ini tampak tak solid.

Kebijakan hukum penanganan Covd-19 semestinya bertumpu dari sisi hulu hingga hilir secara holistik. Dari sisi hulu, pelaksanaan kebijakan berupa tes (testing), lacak (tracing), isolasi/perawatan (treatment) dan vaksinasi harus senantiasa konsisten dilakukan secara disiplin dan baik.

Di sisi hilir, ketersediaan fasilitas kesehatan (faskes), obat-obatan hingga tenaga kesehatan menjadi kebutuhan yang harus tersedia.

Kebijakan hukum penananganan Covid-19 secara ideal harus mampu memotret kebutuhan dalam penanganan Covid-19 secara komprehensif. Kebijakan hukum pemerintah juga dituntut untuk mencerminkan aspek kemanusiaan dan keadilan kepada semua pihak.

Atas kondisi obyektif tersebut, penanganan Covid-19 agar dalam rel yang tepat harus bertumpu pada politik hukum pemerintah yang tepat.

Ketepatan politik hukum tersebut berjalin kelindan dengan perumusan kebijakan yang bertumpu pada kemaslahatan banyak orang.

Perbaikan

Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021) tidak menampik bila kebijakan dalam penanganan Covid-19 dinilai tidak konsisten dan kerap berubah-ubah.

Presiden beralasan, perubahan kebijakan penanganan Covid-19 tidak terlepas dari upaya mencari kombinasi yang baik antara kepentingan kesehatan dan kepentingan perekonomian masyarakat.

Pilihan politik hukum pemerintah dalam penanganan Covid-19 hakikatnya bagian dari kewenangan terikat maupun kewenenagan bebas (diskresi) yang dimiliki pemerintah.

Rumusan kebijakan pemerintah bisa jadi merupakan bagian dari pendelegasian dari aturan di atasnya maupun kebijakan hukum pemerintah yang menjadi bagian dari kewenangan bebas yang dimiliki pemerintah.

Namun, apapun model dan pilihan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah, catatannya tidak boleh keluar dari bingkai konstitusi dan demokrasi.

Secara formal setiap kebijakan hukum pemerintah harus sesuai dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan serta dilandasi spirit etik melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

Evaluasi penanganan Covid-19 selama 1,5 tahun ini mutlak dilakukan. Tidak sekadar pada aspek soal pilihan kebijakan, naun evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan yang ditempuh pemerintah selam ini. Evaluasi ini tentu dimaksudkan untuk perbaikan tata kelola penanganan Covid-19.

Perbaikan kebijakan penanganan Covid-19 tentu pertama dimulai dari politik hukum yang fokus berorientasi pada pengendalian penyebaran Covid-19 secara konsisten dan terarah.

Pernyataan publik pemerintah yang belakangan berkomitmen mendasari setiap kebijakan hukum penanganan Covid-19 mendasari pada data dan ilmu pengetahuan merupakan sinyal baik untuk perbaikan penanganan Covid-19.

Harapannya, komitmen tersebut dimanifestasikan melalui kebijakan hukum yang ajeg yang jauh dari sekadar lips service.

Kedua, perbaikan komunikasi publik pemerintah dalam penanganan Covid-19. Pernyataan publik aktor di pemerintahan harus merepresentasikan komunikasi yang meneduhkan dan solutif. Pernyataan publik penyelenggara pemerintah tak boleh lagi berkonotasi negatif di depan publik.

Ketiga, pelibatan partisipasi publik dalam penanganan Covid-19. Keterlibatan publik tentu tidak hanya sekadar diwujudkan melalui keterlibatan swasta dalam pelaksanaan penanganan pengendalian Covid-19, tetapi kritik dan masukan publik atas penanganan Covid-19 menjadi bagian penting dalam penanganan Covid-19.

Kritik dan masukan tidak dinilai sebagai sikap anti pemerintah. Kritik harus dinilai sebagai bagian dari wujud partisipasi publik.

Akhirnya, peringatan ulang tahun kemerdekaaan ke-76 Republik Indonesia (RI) menjadi momentum penting bagi bangsa ini untuk keluar dari pandemi Covid-19 ini.

Konstitusi dan demokrasi harus menjadi guidance bagi pemerintah dalam memimpin orkestra penanganan Covid-19 ini, bukan yang lain.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com