JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan dua masalah terkait dengan tingginya harga tes usap berbasis polymerase chain reaction (PCR) di Indonesia.
Peneliti ICW Wana Alamsyah memaparkan masalah yang pertama adalah tidak adanya biaya impor yang dibebankan pada pelaku usaha untuk produk tes kit dan reagent laboratorium.
Hal itu, lanjut Wana, diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019.
“Dijelaskan bahwa atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR,” jelas Wana dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (15/8/2021).
Baca juga: Jokowi: Saya Minta Hasil Tes PCR Diketahui Maksimal 24 Jam, Kita Butuh Kecepatan
Dampak tidak adanya biaya impor tersebut, sambung Wana, mempengaruhi komponan dalam menyusun tarif PCR.
“Yang menjadi masalah adalah publik tidak pernah diberikan informasi mengenai apa saja komponen pembentuk harga dalam kegiatan tarif pemeriksaan PCR,” kata dia.
Wana menyebut masalah kedua adalah rentan harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh Pelaku Usaha senilai Rp 180.000 hingga Rp 375.000.
“Setidaknya ada enam merek reagen PCR yang beredar di Indonesia sejak tahun 2020, seperti Intron, SD Biosensor, Toyobo, Kogene, Sansure dan Liverifer,” ucapnya.
Wana menuturkan jika dibandingkan antara penetapan harga dalam SE milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh pelaku usaha, gap harga reagen PCR mencapai 5 kali lipat.
Baca juga: Jokowi Minta Harga Tes PCR Diturunkan Jadi Rp 450.000-Rp 550.000
Masalahnya, ungkap Wana, Kemenkes tidak pernah menyampaikan besaran keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR.
“Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja,” imbuh Wana.
karena itu ICW mendesak pemerintah untuk melakukan tiga hal. Pertama merevisi Surat Edaran Kemenkes Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR.
“Kedua, Kemenkes segera membuka informasi mengenai komponen penetapan tarif PCR pada publik. Ketiga Kemenkes harus memberikan subsidi terhadap pemeriksaan PCR yang dilakukan secara mandiri,” ujar dia.
Diketahui, Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya, pada Minggu sore, meminta agar tarif PCR diturunkan menjadi Rp 450.000 hingga Rp.550.000.
Baca juga: Kata Guru Besar FKUI soal Harga PCR di India Lebih Murah dari Indonesia
Jokowi juga meminta agar hasil PCR segera keluar dalam waktu 1x24 jam.
Adapun pada Oktober 2020, Kemenkes menetapkan batas harga pemeriksaan PCR di laboratorium swasta sebesar Rp 900.000. Namun masih ditemukan praktik tes PCR dengan harga diatas Rp 1 juta.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.