Tanggal 3 Juli 2021 Rachmawati Soekarnoputri meninggal di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, di tempat ayahnya berpulang tahun 1970.
Ia sering menyebut dirinya sebagai “anak biologis sekaligus anak ideologis Sukarno”. Betulkah demikian?
Saya beberapa kali berjumpa dengan Rachmawati Soekarnoputri. Tanggal 22 Mei 2006 diundang ke rumahnya di Jatipadang, Jakarta berdua dengan dokter Kartono Mohammad.
Kami pernah menulis tentang rahasia kesehatan Bung Karno pada akhir hayatnya di media.
Rachmawati memperlihatkan sembilan bundel buku dengan tulisan tangan laporan/observasi hari per hari perawat yang mengurus mantan Presiden Sukarno di Wisma Yaso 7 Februari 1969 - 9 Juni 1970.
Diukur suhu badan dan tekanan darah serta jumlah air kencing dalam tempo 24 jam.
Namun ketika tekanan darahnya tinggi tidak ada obat untuk menurunkannya, demikian tidak diberikan obat untuk melancarkan air kecing ketika terjadi pembengkakan.
Bila sakit kepala diberi Novalgin dan ketika susah tidur dikasih tablet valium.
Di situ tertulis gejala kesehatan dan psikis yang dialami Sukarno dari waktu ke waktu serta obat yang diberikan. Selain itu diperlihatkan arsip tentang pemeriksaan urin.
Tetapi anehnya, pemeriksaan dilakukan di Kedokteran Hewan IPB. Apakah yang dicek itu urin dari sang Proklamator atau hewan yang ada di Istana Bogor?
Dari catatan harian perawat itu, dokter Kartono Mohammad menyimpulkan bahwa Sukarno tidak dirawat sebagai semestinya sehingga akhir meninggal tanggal 21 Juni 1970.
Setelah Rachmawati Soekarnoputri meninggal, semoga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secepatnya menghubungi pihak keluarga, agar arsip perawat Bung Karno selama di Wisma Yaso 1969-1970 itu dapat diserahkan kepada ANRI.
Rachmawati yang meminta kepada Jenderal Soeharto agar Sukarno yang setelah keluar dari Istana Bogor dan berdiam di Batu Tulis diperbolehkan tinggal di Jakarta. Supaya lebih mudah mengunjunginya.
Ternyata Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso dan hanya boleh dikunjungi anak-anaknya pukul 10-13.
Rachmawati yang membawa makanan yang dimasak di rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya untuk diantar ke Wisma Yaso.
Menurut Sidarto Danusubroto, ajudan Bung Karno tahun 1967, pernah ada orang yang membantu mantan Presiden Sukarno dengan uang untuk keperluan sehari-hari, maka uang itu dimasukkan ke dalam kaleng biskuit dan dibawa ke Wisma Yaso oleh Rachmawati.
Perjumpaan yang kedua dengan Rachmawati, dalam seminar yang diadakan di Universitas Bung Karno tahun 2013.
Saya diundang oleh Rachmawati untuk membahas TAP MPR no 1 tahun 2003. TAP itu berisi peninjauan terhadap Tap MPRS dan MPR dari tahun 1960 sampai tahun 2002, menyatakan apakah TAP tersebut masih atau tidak lagi berlaku.
TAP/MPRS no XXXIII/1967 tentang peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto tersebut dinyatakan einmalig (sudah terjadi).
Yang menjadi persoalan adalah bagian pertimbangannya bahwa Presiden Sukarno melalukan tindakan yang membantu Gerakan 30 September 1965, sebuah kudeta yang mencoba mengambilalih kekuasaan dari Presiden.
Sesuatu yang tidak logis. Upaya yang dilakukan Rachmawati itu tidak membuahkan hasil.
Beberapa tahun kemudian, usaha untuk membersihkan nama baik Sukarno dilakukan dengan mengangkatnya (kembali) sebagai pahlawan nasional tahun 2012.
Walaupun Sukarno sudah menjadi Pahlawan Proklamator tahun 1986. Menurut Jimly Assidhiqie seorang pahlawan nasional itu tidak melakukan hal yang membuat cacat perjuangannya.
Seorang pahlawan nasional tentulah tidak akan melakukan atau membantu upaya untuk menggulingkan dirinya sendiri (sebagai Presiden).
Menurut Rachmawati, produser harus meminta ijin untuk pembuatan film tersebut serta pihak produser film telah melanggar kesepakatan sehingga film intuk menimbulkan citra yang buruk tentang karakter Bung Karno.
Saya mendapat naskah skenario film itu redaksi JakTV karena diundang untuk talkshow pada saluran televisi. Kebetulan pemilik JakTV, Erick Thohir juga co-produser film tersebut.
Saya berbeda pendapat dengan Rachmawati. Rachmawati dimenangkan oleh hakim pada pengadilan negeri, namun akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Rahmawati dikalahkan.
Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Jelas Rachmawati anak biologis Sukarno. Menurut hemat saya istilah “anak ideologis” itu tidak permanen.
Ketika mengurus ayahnya menjelang akhir hayat sang Proklamator serta senantiasa membela nama baik Bung Karno misalnya dalam kasus TAP MPRS XXXIII/1967 jelas ia seorang anak ideologis Sukarno.
Tentulah tidak sepenuhnya lagi demikian, ketika kemudian ia lebih sering melakukan politik praktis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.