“Bibitnya tumbuh pada momen pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang menjadikan warga Indonesia seolah terbelah. Lalu didukung dengan munculnya kelompok-kelompok garis keras yang tak bisa menerima perbedaan. Setiap orang yang berbeda pandangan dianggap musuh yang harus dihabisi. Termasuk, pasangan gay di Thailand, nun jauh di sana,” terang dia.
Tanggung jawab semua pihak
Widodo menuturkan perbaikan etika bersosial media mesti melibatkan semua pihak. Insitusi seperti keluarga, sekolah hingga kepolisian mesti saling bekerjasama.
Pihak keluarga dan sekolah dapat memberikan pengajaran tentang etika sopan santun dalam komunikasi sehari-hari. Hal ini kemudian juga harus berimplikasi pada pola komunikasi di media sosial.
Baca juga: Netizen Indonesia Paling Tidak Sopan se-Asia Tenggara, Pengamat Sebut Ada 3 Faktor Penyebab
Selain itu, lanjut Widodo, pola pengawasan tidak hanya dibebankan pada polisi siber, atau kementerian Informasi dan Teknologi Informasi (Kominfo).
“Tapi semua pihak harus menjadi pengawas. Misalnya pihak universitas, juga mengawasi tindakan mahasiswanya di media sosial. Jika ada perilaku yang menyalahi etika, sanksi sosial bisa diterapkan dengan memposting identitas korban beserta akunnya,” jelas dia.
Menurut Widodo sanksi sosial mesti dilakukan di ranah cyber atau media sosial, karena sanksi hukum kerap kali tidak berjalan efektif.
“Bentuk-bentuk sanksi sosial bisa dilakukan karena biasanya lebih efektif ketimbang sanksi hukum,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.