Oleh: Asep Sahid Gatara*
PEMERINTAH melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly akhirnya resmi memutuskan menolak kepengurusan Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang pimpinan Moeldoko.
Alasan, keputusan tersebut, sebagaimana dilansir Kompas.com (31/3/2021), karena ada persyaratan yang belum terpenuhi. Di antaranya kelengkapan dokumen fisik berupa perwakilan DPD, DPC, serta tidak adanya mandat dari ketua DPD dan DPC.
Menarik untuk disoroti sejumlah hal pascakeputusan tersebut. Di antaranya, pertama, bahwa pihak-pihak yang berprahara dapat menerima keputusan pemerintah tersebut.
Terutama pihak Partai Demokrat versi KLB melalui juru bicaranya Muhammad Rahmad yang menerima secara legowo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jum’at (2/4/2021).
Pernyataan tersebut tentu patut kita apresiasi. Mengapa demikian? Jawabannya karena yang berprahara telah menunjukkan kenegarawanan dan kesatriaannya.
Pihak yang ditolak menerima dengan lapang dada, dan secara bersamaan pihak yang dimenangkan tidak lantas membusungkan dada.
Tentu itu semua akan bermanfaat karena menjadi tuntunan yang baik bagi publik setelah sebelumnya publik banyak disuguhi tontonan prahara PD yang buruk karena adegan-adegan dramatis serta melankolis yang mengkhawatirkan sekaligus menggelikan.
Kedua, bahwa proses penyelesaian prahara PD telah memproduksi pengetahuan kekinian mengenai bagaimana sesungguhnya relasi politik dan hukum.
Baca juga: BREAKING NEWS: Pemerintah Tolak Permohonan Moeldoko dkk soal Klaim Partai Demokrat
Prahara PD berada pada irisan pengetahuan politik dan pengetahuan hukum (terutama hukum adminstrasi negara). Di samping itu, nilai-nilai tertentu ikut terkonstruksi dari relasi keduanya.
Sejauh ini banyak pandangan mengenai bagaimana relasi politik dan hukum. Hal tersebut berkelindan dengan beragamnya definisi mengenai politik dan hukum.
Ratusan bahkan lebih para pakar memproduksi banyak definisi untuk kedua istilah itu. Sebagian definisinya saling beririsan tidak sedikit juga yang berdiri sendiri.
Keragaman definisi itu membuat relasi antara keduanya sangat cair atau dinamis. Di mana politik tidak hanya berurusan dengan nilai-nilai adiluhung kepublikan serta seni meraih kekuasaan guna mewujudkan kehidupan bersama, tapi tumbuh dalam histori dan norma-norma tata laku manusia.
Seperti juga hukum bukan saja hanya berbicara hal peraturan perundang-undangan dan keputusan yang final serta mengikat, tapi juga berkaitan dengan perasaan dan praktik pengelolaan kepentingan umum.
Baca juga: Soal KLB Partai Demokrat, AHY: Hikmah Terbesarnya Kami Semakin Solid...
Politik manakala dilepaskan dari sentuhan hukum, akan tampak ‘liar’ dan akhirnya tersesat di lingkungan belantara yang menekankan mekanisme rimba, siapa paling kuat ia akan survive dan keluar sebagai ‘jagoan’.
Kemudian adu kuat itu diyakini sebagai rangkaian alur hukum alam yang lumrah. Pada titik inilah biasanya asal muasal lahirnya aliran paham politisme sempit.
Pemahaman politik yang mengalami reduksi dengan ditandai kecenderungan melepaskan politik dari hukum.
Politisme sempit tidak memiliki kepekaan terhadap segala kemungkinan yang dihasilkan dari setiap gesekan perbedaan kepentingan.
Pendekatan yang selalu digunakan adalah kekuasaan, yaitu pengerahan segala kemampuan demi pengontrolan dan pendisiplinan liyan (the others).
Dalam konteks itu, demokrasi sebagai sistem politik yang menjungjung tinggi kebebasan, tentunya tidak bisa hidup ‘tumaninah’ jika keberadaannya terninabobokan dalam pangkuan politisme sempit.
Bila meminjam peribahasa Sunda, politik tanpa hukum itu “kawas kuda leupas tina gedogan” (seperti kuda lepas dari kandangnya). Artinya, bingung dengan kebebasan, kemudian gelap mata mengejar keinginan dengan nafsu besar, karena tidak ada yang membatasi.
Dengan pribahasa Sunda tersebut politik seolah menjadi ruang bebas tanpa kendali. Sebaliknya, hukum akan tampak vakum atau hampa manakala unsur-unsur keadiluhungan politik dikesampingkan.
Hukum dipahami hanya sebatas urusan peraturan perundang-udangan tertulis dan prosedur persidangan di lembaga pengadilan.
Ketika rasa keadilan dan kepentingan umum dalam masyarakat jauh dari proses perumusan dan penegakan peraturan, maka hukum itu akan kerdil. Di titik inilah asal muasal lahirnya aliran paham legisme yang rigid.
Paham yang menghendaki tegaknya hukum formil semata, hitam-putih, yang belum tentu bisa menjamin tergapainya subtansi hukum.
Padahal ketergapaian subtansi hukum adalah tujuan paling utama dari hukum itu sendiri. Bahkan saking utamanya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD pernah mengungkapkan bahwa boleh langgar konstitusi (prosedural) demi kepentingan rakyat (subtansial).
Di sini kepentingan rakyat, seperti keselamatan, sesungguhnya adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto).
Tentu pemerintah bukan lembaga hukum sebagaimana lembaga pengadilan, namun dengan taat aturan, seperti mengeluarkan keputusan perihal prahara PD sesuai hukum administrasi, berarti pemerintah telah menjalankan semangat atau prinsip-prinsip pengadilan.
Segala tindak-tanduknya hanya untuk menebar kepastian dan keadilan bagi segenap warganya yang beragam kepentingan. Ini teladan bagi keberlanjutan dan kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka.
Di atas semua itu, baik politik maupun hukum sebenarnya acap kali mengonsepsikan dirinya melalui kebaikan bersama (banum commune).
Bukan kebaikan individu, kebaikan keluarga ataupun kebaikan golongan. Kebaikan bersama ini menjadi nilai titik sambung yang terlahir dari relasi antara keduanya.
Istilah kebaikan bersama memiliki ragam makna. Filosof Yunani klasik seperti Socrates misalnya, mengatakan bahwa kebaikan bersama itu adalah keadilan, Plato mengatakan sebagai pengetahuan, dan Aristoteles mengatakan sebagai kebahagiaan (eudai-monia).
Makna-makna filosofis tersebut mengajarkan kepada kita bahwa irisan politik dan hukum pada kasus prahara PD sejatinya melahirkan keadilan bagi seluruh pihak. Suatu keadaan tegak dan terpenuhinya masing-masing hak alamiah pendiri, pengurus, anggota dan simpatisan partai sebagai manusia bermartabat sesuai norma-norma yang berlaku.
Selain itu, menghadirkan pengetahuan atau penyadaran, terutama tentang kepublikan, yaitu partai politik sebagai lembaga publik bukan lembaga keluarga ataupun swasta, dan mengalirkan kebahagiaan (kepuasan) bagi seluruh pemangku kepentingan.
Secara praktis, kebaikan partai politik dengan makna-makna filosofis itu bisa diturunkan pada regulasi, posisi, dan fungsinya. Di sini regulasi sebagai aturan main dalam berorganisasi, mekanisme dasar bagi pengelolaan konflik dan penyusunan konsensus.
Baca juga: Pengamat: Pemerintah Tak Terpengaruh Narasi Politik dalam Menangani Polemik Partai Demokrat
Kemudian posisi partai politik sebagai pilar demokrasi, bukan sebagai makelar demokrasi. Terakhir, fungsinya adalah sarana pendidikan politik, agregasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik.
Dalam konteks itu, perlu diyakini kembali bahwa sebaik-baiknya partai politik adalah yang kokoh regulasinya, ajeg posisinya, dan tunai fungsi-fungsinya. Wallahu’alam bishawab. (*Asep Sahid Gatara, Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL))