JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan penetapan empat petugas forensik RSUD Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, sebagai tersangka karena memandikan jenazah wanita suspek Covid-19.
Kepolisian setempat menjerat keempatnya Pasal 156 huruf a juncto Pasal 55 Ayat 1 tentang Penodaan Agama.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menilai, kasus tersebut sulit dikatakan telah memenuhi unsur penodaan agama.
Baca juga: Petugas Forensik Jadi Tersangka karena Mandikan Jenazah, Kerja 24 Jam akibat Kurang Tenaga
Menurut dia, terdapat dua unsur pada Pasal 156a KUHP yang selama ini kerap tidak diperhatikan dalam kasus penodaan agama.
"Pertama, unsur 'kesengajaan dengan maksud' melakukan penodaan agama di muka umum dan kedua, bentuk perbuatan 'yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama'," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis, Rabu (24/2/2021).
Dalam kasus yang menimpa keempat petuga forensik tersebut, Erasmus mengatakan bahwa penyidik dan jaksa harus berhati-hati dalam menilai apakah perbuatan tersangka memang disengaja dengan maksud di muka umum melakukan penodaan agama.
Sebaliknya, terkait kelalaian karena tidak mematuhi protokol, standar operasional prosedur (SOP), atau urutan prosedur lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan maksud.
Baca juga: Jadi Tersangka, 4 Petugas Forensik yang Mandikan Jenazah Wanita Tak Ditahan, Ini Alasannya
Terlebih, para tersangka menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan yang khusus menangani jenazah suspek Covid-19 dengan telah dilengkapi surat keputusan pengangkatan mereka.
Selain itu, menurut Erasmus, dalam delik penodaan agama, harus mempunyai kriteria sebuah perbuatan 'Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama'.
Perbuatan itu sendiri haruslah perbuatan yang sifatnya menodai suatu agama atau ajaran agama, maka dia harus langsung menyasar agama tersebut.
Sementara itu, perbuatan yang menyasar orang per orang yang kebetulan menyalahi ajaran suatu agama, tidak dapat langsung disimpulkan menodai agama.
Sebab, apabila menggunakan logika yang demikian, semua kejahatan tentu menyalahi ajaran agama.
Baca juga: Petugas Forensik Jadi Tersangka karena Mandikan Jenazah, Kerja 24 Jam akibat Kurang Tenaga
Dalam kondisi ini, maka semua delik pidana adalah penodaan agama dan tidak lagi dibutuhkan KUHP.
"Maka, suatu perbuatan yang melanggar norma agama belum tentu melanggar norma hukum, dalam kasus ini, yaitu perbuatan pidana penodaan agama," ucap Erasmus.
Di sisi lain, ICJR juga mengkritik jaksa penuntut umum yang telah menerima pelimpahan kasus ini.