Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Perludem, Ini Dampak jika Pilkada dan Pemilu Nasional Digelar Serentak 2024

Kompas.com - 11/02/2021, 16:26 WIB
Sania Mashabi,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan beberapa dampak yang timbul jika pemilihan kepala daerah (pilkada) digabungkan dengan pemilu nasional pada 2024.

Dampak pertama yakni kompleksitas masalah pada Pemilu 2019 akan terulang kembali. Pada 2019 lalu, pemilu tingkat eksekutif dan legislatif dilakukan serentak.

Salah satu persoalan yang muncul terkait jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.

Baca juga: Golkar Tarik Dukungan atas Revisi UU Pemilu, Setuju Pilkada Serentak 2024

Jika tidak ada perubahan sistem pemilu pada 2024, maka pilpres, pileg dan pilkada akan digelar dalam satu hari.

"Mengapa? karena regulasinya pada level undang-undang tidak mengalami perubahan," kata Titi, dalam sebuah diskusi secara daring, Kamis (11/2/2021).

Dampak lainnya yakni penurunan tingkat identifikasi masyarakat terhadap partai politik. Hal ini terjadi intensitas interaksi antara pemilih dengan partai politik meningkat hanya pada agenda elektoral.

Pasalnya pilkada pada 2022 dan 2023 akan ditiadakan dan digelar serentak pada 2024.

Keserentakan ini, menurut Titi, juga akan berdampak pada melemahnya tingkat pastisipasi masyarakat dalam demokrasi.

"Serupa dengan Pilkada 2020, pemerintah akan berusaha maksimal agar prosedural pemilu dan pilkada bisa berjalan baik," ujar Titi.

Baca juga: Demokrat Pertanyakan Kelanjutan Revisi UU Pemilu dalam Rapat Paripurna

Selain itu, Mahkamah Konstitusi akan menjadi sandaran perubahan pengaturan pemilu. Titi mengatakan, kemungkinan itu akan terjadi jika revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Adapun, dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020, MK menegaskan konstitusionalitas pemilu serentak presiden, DPR, dan DPD.

Sementara, terkait keserentakannya dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serta DPRD provinsi/kabupaten, MK menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang untuk memutuskannya.

"Akhirnya semua berbondong-bondong ke MK untuk melakukan penyesuaian pengaturan," ungkapnya.

Baca juga: Pimpinan DPR Akui Prolegnas Belum Ditetapkan karena Polemik Revisi UU Pemilu

Dampak lainnya, KPU perlu mengeluarkan terobosan dan inovasi terkait penyelengaraan pemilu serentak.

Kemudian, pemerintah akan sulit untuk memperbaiki jadwal pilkada selanjutnya.

"Pasca-pemilu 2024 akan sulit dilakukan, karena semua akhir masa jabatan itu di 2024," ucap Titi.

Wacana revisi UU Pemilu tengah bergulir di DPR. Salah satu poin perubahan dalam RUU Pemilu adalah normalisasi jadwal pilkada dari 2024 menjadi 2022 dan 2023.

Jika pilkada tetap dilangsungkan pada 2024, maka daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan habis pada 2022 dan 2023 akan dipimpin oleh pelaksana tugas hingga 2024.

Sejauh ini hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung revisi UU Pemilu. Sedangkan fraksi lainnya menolak revisi dan meminta agar pilkada tetap digelar pada 2024.

Baca juga: Tolak Klaim Ketua Komisi II, PKS Ingin Pembahasan Revisi UU Pemilu Dilanjutkan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com