Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Revisi UU Pemilu, Ambisi Parpol atau Kepentingan Rakyat?

Kompas.com - 04/02/2021, 09:15 WIB
Tatang Guritno,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA,KOMPAS.com - Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang sudah disetujui pemerintah dan DPR belum juga disahkan sampai saat ini.

Prolegnas Prioritas 2021 terdiri atas 33 RUU serta 5 RUU Kumalatif Terbuka.

Salah satu rancangan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) draf revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya menyebut proses pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 macet di tangan pimpinan DPR.

"Masih mandek di pimpinan. Padahal sudah di Bamus (Badan Musyawarah) kan. Ada apa? Pertanyaan itu harus kita tanyakan kepada pimpinan. Kita sudah rapatkan di Bamus, sudah diagendakan, tapi belum diparipurnakan sampai hari ini," kata Willy kepada Kompas.com, Rabu (3/2/2021).

Baca juga: Perludem: Jangan Sampai Kepentingan Parpol Hambat Perbaikan Demokrasi

Peneliti Formappi Lucius Karius menduga, tak kunjung disahkannya Prolegnas Prioritas 2021 karena polemik revisi UU Pemilu.

Lucius menilai, UU Pemilu menjadi pro dan kontra karena dipicu kalkulasi politik partai terkait pemilu 2024 yang akan sangat ditentukan lewat revisi tersebut.

Wacana yang diperdebatkan

Wacana pro dan kontra di kalangan partai politik soal revisi UU Pemilu terkait dengan beberapa hal.

Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah pengembalian jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Sebagian fraksi mendukung Pilkada lebih baik diadakan serentak pada November 2024, yang artinya sesuai dengan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016.

Di sisi lain, beberapa fraksi menginginkan pelaksanaan pilkada diubah, sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.

Baca juga: Sikap Fraksi di DPR soal Revisi UU Pemilu, antara Pilkada 2022 atau Serentak 2024

Isu lain yang diperdebatkan dalam RUU Pemilu adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Berbagai fraksi partai politik saling beradu argumen untuk menetapkan angka ambang batas parlemen tetap pada angka 4 persen, atau naik di angka 5 persen hingga 7 persen.

Begitu juga dengan ambang batas presiden. Fraksi di DPR belum sepakat untuk menurunkan ambang batas atau tetap dengan ketentuan saat ini.

Besaran ambang batas bagi partai politik untuk mencalonkan presiden-wakil presiden yakni 20 persen dari jumlah kursi di parlemen atau 25 persen dari jumlah suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Klaim kepentingan rakyat

Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat mengatakan, pilkada serentak lebih baik dilaksanakan di 2024, karena berisiko apabila dipaksakan pada 2022 dan 2023.

"Kita tidak berpikir yang sifatnya pragmatis dan kemudian ambisinya pada kekuasaan. Tidak semata-mata itu. Kita semata-mata untuk bagaimana bangsa ini sekarang fokus mengatasi pandemi dan pemulihan ekonomi," kata Djarot, dalam acara  Aiman di Kompas TV, Senin (1/2/2021) malam.

Baca juga: Saat PAN dan PPP Tolak Revisi UU Pemilu...

Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga menolak revisi Undang-Undang Pemilu.

PPP beralasan bahwa UU Pemilu yang diubah dalam waktu relatif cepat akan membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.

Sedangkan Ketua Umum PAN Zulfikli Hasan menyebut bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih sangat baru, yaitu secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir.

"PAN berpendapat bahwa UU tersebut belum saatnya direvisi," kata Zulfikli Hasan dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).

Sarat kepentingan parpol

Polemik seputar RUU Pemilu dinilai terlalu berkutat pada ambisi kepentingan politik praktis dan kalkulasi parpol dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agusyati menyebut kemungkinan partai yang bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2024 memiliki kepentingan tersendiri.

Khoirunnisa juga menyebut terdapat inkonsistensi sikap dari partai yang menolak Pilkada pada 2022 dengan alasan Indonesia masih menghadapi pandemi virus corona. Padahal, Pilkada 2020 tetap diadakan.

"Kami melihat ada ketidakkonsistenan di sini," ujarnya, Rabu (3/3/2021).

Baca juga: Perludem: Pembahasan RUU Pemilu Relevan dan Penting Dilakukan

Hal senada diungkapkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra. Ia menilai alasan parpol tentang keselamatan rakyat untuk menolak Pilkada 2020 dan 2023 hanya gimik.

"Kepentingan rakyat, keselamatan rakyat hanya sekadar jargon, lips service dan gimmick dari partai politik dan elite parpol. Maupun pejabat tinggi yang diusung parpol dalam pemilu," kata Azyumardi kepada Kompas.com, Rabu (3/3/2021).

Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menyarankan agar pilkada tidak dilakukan di tahun yang sama dengan pilpres.

Hadar khawatir jika dilakukan pada tahun yang sama, masyarakat hanya akan fokus pada pemilihan presiden dan wakil presiden saja.

"Kita ingin sebetulnya pemilihan punya kualitas yang baik. Saat memilih kita betul-betul sadar memilih orang yang terbaik. Pemilihan presiden saya yakin itu mudah, tapi begitu pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, melihat angka-angka partisipasi surat suara tidak sahnya yang tinggi, saya yakin masyarakat cukup kesulitan," ucap Hadar.

Baca juga: Perludem Nilai Parpol yang Tolak Pilkada 2022-2023 dengan Alasan Pandemi Inkonsisten

Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) ini juga mendukung penurunan presidential threshold dalam revisi UU Pemilu.

Sebab hal tersebut akan memunculkan banyak pemimpin baru.

"Jika calon yang itu-itu saja tidak juga berhasil menyejahterakan dan memajukan negara, dan korupsi tetap banyak, ya kita ingin (pemimpin) yang lain. Tapi mana bisa (terwujud) kalau (presidential Threshold) ditinggikan," kata Hadar. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com