PADA 9 Desember 2020, bangsa Indonesia menggelar pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 wilayah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Pesta demokrasi tersebut digelar berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2020 tentang Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 sebagai Hari Libur Nasional.
Pada hari yang sama, bangsa Indonesia bersama seluruh bangsa-bangsa di dunia memperingati Hari Antikorupsi sedunia. Melalui resolusi 58/4 pada 31 Oktober 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional.
Entah hanya sebuah kebetulan, atau memang dengan sengaja dipertimbangkan oleh Presiden Joko Widodo, dua peristiwa penting yang terjadinya bersamaan waktu itu patut direnungkan secara sungguh-sungguh supaya kita dapat memetik hikmahnya.
Sebagai bangsa, kita memang perlu memperingati dan memetik hikmah dari Hari Antikorupsi Sedunia. Pasalnya, hingga saat ini, korupsi masih mewabah di tengah bangsa kita.
Sebagaimana kita ketahui, ada banyak definisi mengenai korupsi. Definisi yang paling banyak dikutip, adalah definisi yang digunakan oleh Transparency International, PBB.
Dalam banyak publikasi penelitian, PBB mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dimasukkan untuk keuntungan pribadi.
Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) menyebutkan bahwa korupsi dapat berbentuk seperti penyuapan, gratifikasi, penyalahgunaan fungsi/jabatan, dan berbagai tindak kecurangan dan manipulasi di sektor swasta.
Korupsi di bumi Indonesia sebenarnya bukanlah fenomena baru. Korupsi sudah ada sejak era orde baru, orde lama, bahkan era kolonial.
Berbagai penelitian selalu mendudukkan Indonesia pada peringkat tinggi korupsi dibandingkan negara lain. Terakhir, laporan lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International, memposisi Indonesia pada urutan ketiga negara paling korup di Asia, setelah India dan Kamboja. (Bdk. https://www.transparency.org//24 November 2020).
Data di atas menegaskan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat massif, bahkan dianggap sebagai hal yang biasa.
Korupsi berpotensi menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini..
Apakah demokrasi dapat mengurangi korupsi? Jawabannya mungkin tidak dapat diuraikan secara gamblang.
Di beberapa masyarakat, dikemukakan bahwa pengenalan demokrasi telah berfungsi untuk memperkuat hubungan patron-klien yang ada, yang mengarah pada demokratisasi korupsi dan bukan pengurangannya.
Efek dari pemerintahan yang lebih terbuka juga ambigu. Studi yang dilakukan Bac (2001) menemukan bahwa transparansi memudahkan untuk mengidentifikasi pejabat mana yang akan disuap.
Selain itu, lembaga akuntabilitas horisontal yang sering ditunjuk atau didanai oleh pemerintah dapat mengurangi secara intensif dan kapasitas untuk menangani korupsi pemerintah.
Dalam kasus terburuk, lembaga-lembaga ini dapat digunakan untuk menganiaya lawan politik pemerintah, daripada meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Secara normatif, dapat dikatakan bahwa perubahan kecil dalam norma atau perilaku yang ditimbulkan oleh demokrasi tidak cukup untuk menghilangkan pratik korupsi yang massif.
Argumen ini menyiratkan bahwa demokrasi mungkin tak banyak berpengaruh pada penurunan korupsi, bahkan sebaliknya dapat meningkatkan korupsi.
Oleh karena itu sulit untuk menarik kesimpulan tentang efek demokrasi terhadap korupsi. Apalagi, ada negara yang tidak menganut paham demokrasi, ternyata berhasil mengurangi korupsi.
Singapura adalah contoh negara yang relatif tidak demokratis namun berhasil menekan tingkat korupsi tetap rendah. Sebaliknya, negara-negara demokratis seperti Mongolia, Paraguay, Nikaragua, juga Indonesia memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Berbagai studi ekonometrik juga memperlihatkan hasil yang sangat beragam tentang hubungan antara demokrasi dan korupsi. Sejumlah studi melaporkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara keduanya. Namun, ada pula studi yang justru tidak menemukan hubungan yang signifikan.
Efek kausal demokrasi terhadap korupsi dipersulit oleh fakta bahwa demokrasi adalah suatu fenomena sosial yang endogen. Selain itu, mungkin juga ada kausalitas terbalik.
Artinya, korupsi mungkin dapat merusak kepercayaan pemilih terhadap sistem demokrasi, dan karenanya memicu praktik korupsi.
Tapi, hubungan kausal demokrasi dan korupsi kemungkinan besar dipengaruhi oleh variabel ketiga yang sulit untuk diamati atau diukur, yaitu kebudayaan.
Fiona Robertson-Snape (1999) mengemukakan praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan determinasi kebudayaan, yaitu kebiasaan tradisional orang Nusantara yang gemar menyuap dan membawa upeti untuk mengambil hati para penguasa.
Sejatinya, dari perspektif teoritis, kita dapat berharap demokrasi akan mengurangi korupsi. Demokrasi meningkatkan kemungkinan pejabat yang korup akan diekspos dan dihukum.
Dalam sistem demokrasi, warga masyarakat memiliki inisiatif mengungkap kegiatan korupsi oleh petahana sehingga pemilih menjadi terbuka matanya untuk tidak memilih kembali politisi yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka daripada kepentingan para pemilih.
Demokrasi juga menimbulkan sistem pemerintahan yang lebih terbuka dan terciptanya mekanisme check and balances.
Itu berarti bahwa warga masyarakat berpeluang ikut mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga peluang para pengusaha untuk melakukan suap dan gratifikasi guna mendapat proyek dapat dikendalikan.
Check and balances yang efektif dalam pemerintahan dapat membatasi kecenderungan para pejabat untuk menyimpang dari praktik yang tidak memihak kepada kepentingan publik.
Lebih jauh, demokrasi dapat mempengaruhi persepsi normatif tentang korupsi dalam masyarakat. Hal itu membuat korupsi menjadi praktik yang tidak menarik karena membawa stigma sosial yang besar.
Singkatnya, demokrasi merupakan sistem yang mengatur para pejabat untuk menjalankan good governance, melayani publik secara transparan, adil, akuntabel, independen dan mengutamakan tanggungjawab sosial.
Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu, sebagai warga bangsa Indonesia, kita perlu melakukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya.
Secara umum, upaya pemberantasan korupsi terdiri dari dua bagian besar, yaitu penindakan, dan pencegahan. Namun upaya tersebut tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh KPK, aparat penegak hukum atau pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika seluruh komponen bangsa, terutama generasi muda pewaris masa depan perlu terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Keterlibatan generasi muda dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum.
Peran aktif generasi diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat.
Generasi muda hendaknya dapat berperan sebagai agen penggerak budaya antikorupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif, generasi muda perlu dibekali dengan ketaqwaan yang kuat kepada Tuhan Yang Mahaesa, karakter diri (akhlak) yang halus, dan pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya.
Yang tak kalah pentingnya adalah generasi muda perlu membekali diri sendiri dengan kompetensi dan keahlian yang mumpuni supaya dapat bekerja secara professional atau berwirausaha demi meraup penghasilan secara halal tanpa tergoda untuk melakukan tindak korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.