JAKARTA, KOMPAS.com - Irjen Napoleon Bonaparte merasa dizalimi oleh pernyataan pejabat negara dengan tuduhan penghapusan red notice.
Hal itu disampaikan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri tersebut saat sidang dengan agenda pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/11/2020).
“Dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan-pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice,” ucap Napoleon dikutip dari ANTARA.
Jenderal bintang dua tersebut adalah terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice di Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Dalam kasus tersebut, Napoleon didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.
Ia mengaku sudah menunggu-nunggu waktu untuk memberikan penjelasan terkait kasus tersebut.
Sebab, sebagai mantan Kadiv Hubinter Polri sekaligus mantan Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia, Napoleon merasa paling memahami kerja Interpol.
Akan tetapi, tuduhan yang dialamatkan kepadanya membuat dirinya tidak mungkin menyampaikan jawaban karena akan dianggap sebagai pembelaan diri.
Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Irjen Napoleon Dijadikan Tumbal di Kasus Red Notice Djoko Tjandra
“Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan apa yang dieksepsi, tuduhan penerimaan uang saya siap untuk dibuktikan didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara,” tuturnya.
Dalam eksepsinya, kuasa hukum Napoleon bernama Sastrawan mengatakan, red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari basis data Interpol sejak tahun 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan selaku lembaga peminta.
Kuasa hukum Napoleon menuturkan, red notice dan daftar pencarian orang (DPO) pada SIMKIM (Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian) Imigrasi adalah dua hal yang berbeda.
Menurut Sastrawan, terhapusnya nama Djoko Tjandra dari DPO pada SIMKIM Imigrasi bukan kewenangan Napoleon.
Ia menambahkan, terhapusnya nama Djoko Tjandra juga bukan implikasi dari surat dari Divisi Hubinter Polri nomor B/1036/V/2020/NCB - Div HI tertanggal 05 Mei 2020 karena substansi surat tersebut hanya bersifat pemberitahuan.
Dalam kasus ini, Napoleon didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.
Kasus red notice bermula dari keinginan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang menjeratnya.