Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat DPR Percepat Pengesahan RUU Cipta Kerja dan Abaikan Suara Rakyat

Kompas.com - 06/10/2020, 06:59 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.

DPR mempercepat penutupan masa sidang karena pertimbangan ada anggota DPR, staf DPR dari unsur ASN dan staf anggota yang terpapar Covid-19.

"Ada anggota DPR terpapar Covid-19, begitu juga staf ASN dan staf anggota, kita doakan sahabat-sahabat anggota DPR dan staf yang terpapar dalam segera pulih," kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin saat memimpin rapat.

Baca juga: Aliansi Buruh Banten: Mogok Nasional Bentuk Perlawanan Menolak UU Cipta Kerja

Di dalam rapat, Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas mengatakan, terkait proses penyelesaian RUU Cipta Kerja, DPR dan pemerintah telah menggelar rapat sebanyak 64 kali yang terdiri dari rapat Panja dan rapat Tim Perumus.

Supratman mengungkapkan, pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan hampir setiap hari. Bahkan, tetap dilaksanakan meski di tengah masa reses DPR.

"Dilakukan mulai hari Senin sampai dengan Minggu, dimulai dari pagi hingga malam dini hari, bahkan masa reses pun tetap melaksanakan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," kata Supratman saat menyampaikan laporannya.

Kendati demikian, di dalam rapat, dua dari sembilan fraksi di DPR, yakni PKS dan Demokrat kembali menyampaikan penolakannya atas pengesahan RUU Cipta Kerja.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Hasan meminta, DPR dan pemerintah harus berpikir panjang untuk mengesahkan RUU sapu jagat tersebut.

Baca juga: UU Cipta Kerja Dinilai Cacat Prosedur

Marwan mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja antara DPR dan pemerintah terlalu tergesa-gesa.

Padahal, pasal-pasal yang terdapat dalam RUU itu berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

"Fraksi Partai Demokrat kembali menyatakan menolak RUU Cipta Kerja. Kami menilai banyak hal perlu dibahas kembali secara komprehensif," kata Marwan.

Senada dengan itu, anggota DPR dari Fraksi PKS Amin AK menegaskan, pihaknya menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dalam pengambilan keputusan tingkat II tersebut.

Sebab, kata Amin, pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19 membatasi keterlibatan publik.

Baca juga: UU Cipta Kerja Hapus Sanksi bagi Pengusaha yang Tak Bayar Upah Sesuai Ketentuan

Tak hanya itu, banyak pihak yang telah menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

"Dengan memperhatikan itu semua, maka Fraksi PKS menyatakan menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan menjadi undang-undang," kata Amin.

Demokrat walk out

Adapun, Fraksi Partai Demokrat sempat beberapa kali melakukan interupsi dan meminta pimpinan DPR mempertimbangkan untuk menunda pengesahan RUU Cipta Kerja dalam pengambilan keputusan tingkat II tersebut.

Namun, kesempatan interupsi Fraksi Partai Demokrat tak diberikan lagi oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Akibatnya, Fraksi Partai Demokrat memutuskan walk out dari Rapat Paripurna.

"Kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman dalam Rapat Paripurna.

Sementara itu, pemerintah yang diwakili Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, alasan pemerintah membuat RUU Cipta Kerja adalah untuk memprioritaskan program penanganan Covid-19.

Baca juga: Fraksi Demokrat Walk Out dari Rapat Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja

"Walaupun Partai Demokrat tidak ada lagi di sini, atau tidak hadir, penting kami menyatakan bahwa undang-undang ini yang menjadi catatan, untuk memprioritaskan, program Covid-19," kata Airlangga.

Airlangga menegaskan, proses pembahasan RUU Cipta Kerja sudah transparan terhadap publik.

Selain itu, menurut Airlangga, pemerintah dan DPR sudah mengakomodasi kepentingan buruh di dalam RUU Cipta Kerja.

"Yang mengutamakan hubungan tripatrit antara pemerintah, pekerja dan pengusaha dengan di keluarkannya jaminan, JKP atau jaminan kehilangan pekerjaan," ujar dia.

Serikat pekerja kecewa dan mogok nasional

Di sisi lain, serikat buruh merasa kecewa atas keputusan DPR yang tetap mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di tengah masa pandemi Covid-19.

"Kami sangat kecewa sekali, kita marah, ingin menangis, ingin menunjukan ekspresi kita kepada DPR dan pemerintah, di tengah situasi seperti sekarang kok bisa melakukan upaya yang sangat jahat seperti ini," ujar Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/10/2020).

Baca juga: UU Cipta Kerja: Pelanggar Perjanjian Kerja Bisa Langsung Di-PHK

Menurut Jumisih, pengesahan RUU Cipta Kerja ini semakin meneguhkan keyakinan buruh dan masyarakat bahwa DPR dan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, tetapi hanyak berpihak kepada pemilik modal.

Oleh karenanya, kata Jumisih, cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi sejahtera kian menjauh dari masyarakat.

"Pemerintah sedang mewariskan kehancuran untuk generasi kita dan generasi akan datang. Jadi pemeritnah mewariskan bukan kebaikan, tapi kehancuran untuk rakyatnya sendiri, per hari ini," ucap Jumisih.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesian (KSPI) Said Iqbal menegaskan, para serikat buruh tetap menggelar aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober dalam rangka menolak RUU Cipta Kerja.

Mogok nasional, menurut Iqbal, akan dilakukan kurang lebih 2 juta buruh yang melibatkan 32 federasi dan konfederasi serikat buruh dan sejumlah federasi serikat buruh lainnya.

Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, KSPI: 2 Juta Buruh Mogok Nasional 6-8 Oktober

Iqbal mengatakan, aksi mogok kerja ini telah sesuai dengan aturan perundangan-undangan yakni UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

"Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).

Iqbal juga mengatakan, dalam aksi mogok nasional tersebut, serikat buruh akan menyampaikan secara spesifik penolakan terhadap substansi RUU Cipta Kerja.

Rinciannya, buruh menuntut upah minimum kota (UMK) tanpa syarat dan upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan.

Kemudian, buruh meminta nilai pesangon tidak berkurang. Buruh menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.

Baca juga: Aliansi Buruh Banten: Mogok Nasional Bentuk Perlawanan Menolak UU Cipta Kerja

Selain itu, buruh juga menolak outsourcing seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.

Buruh juga menuntut karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.

"Sementara itu, terkait dengan PHK, sanski pidana kepada pengusaha, dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003," kata Iqbal.

Adapun, aksi mogok nasional ini akan diikuti serikat buruh di 25 Provinsi di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com