SALAH satu ciri demokrasi adalah adanya rotasi kekuasaan. Sebab, bila kekuasaan di permanenkan, daulat rakyat mengalami kelongsoran.
Rotasi kekuasaan dimaksudkan untuk menghargai daulat rakyat sekaligus mencegah potensi korupsi kekuasaan. Sebab, kekuasaan yang tidak dibatasi, dipastikan cenderung pada korupsi.
Demokrasi sendiri merupakan pilihan niscaya pasca reformasi. Sebab, keruntuhan Orde Baru (Orba) di masa silam, salah satunya, karena minimnya kadar demokrasi.
Di zaman Orba, pemerintah ditopang kekuatan militer --lewat doktrin dwifungsi militer--melakukan penetrasi ke berbagai sektor pemerintahan menimbulkan pemiskinan demokrasi. Ini akhirnya berakhir di masa reformasi, ketika rezim Orba runtuh (F Budi Hardiman, 2013).
Kini, pemilihan sebagai bentuk rotasi kekuasaan didemokratisasi. Mulai dari presiden sampai kepala desa, pemilihan dilakukan secara langsung.
Khusus untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota --lazim disingkat pemilihan kepala daerah atau disebut Pilkada— diatur dengan undang-undang tersendiri yang mengalami pelbagai perubahan.
Undang-undang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir kali oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Apa yang membedakan regulasi terakhir yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 (kami singkat UU Pilkada 2020) dengan berbagai perundang-undangan sebelumnya.
Pertama, UU Pilkada 2020 dibentuk di tengah keprihatinan mengganasnya penyebaran Covid-19 sehingga terdapat kebijakan dan langkah-langkah luar biasa yang perlu diambil untuk dilakukan penundaan Pilkada serentak tahun 2020.
Maka, diputuskan untuk Pilkada serentak berdasarkan Pasal 120 A ayat (2) Perppu Nomor 2 Tahun 2020 (yang disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020). Pemungutan suaranya dilaksanakan Desember 2020.
Kedua, dibuka peluang, jika pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan ketika sebagian wilayah, seluruh wilayah atau sebagian besar daerah mengalami di antaranya bencana non alam (pandemi Covid-19 dikategorikan bencana non alam) maka dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.
Syaratnya, ada penetapan penundaan tahapan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas persetujuan KPU, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (lihat Pasal 120, Pasal 122 A Perppu Nomor 2 Tahun 2020).
Persoalannya, kondisi terakhir, situasi pandemi Covid-19 sudah semakin memburuk. Ketua dan Anggota KPU, Arief Budiman dan Pramono Ubaid positif terinfeksi Covid-19.
Demikian pula beberapa Komisioner KPU Daerah dan anggota stafnya seperti di Tangerang Selatan dan Makassar serta 96 pengawas Pilkada di Boyolali terinfeksi Covid-19. Ditambah 60 calon Kepala Daerah juga terindikasi positif Covid-19. (Moch Nurhasim, Kompas, 2020:6).
Sementara, belum ada keputusan pemerintah yang akan menunda pemungutan suara pada Desember 2020.
Dengan perkataan lain, penyelenggaraan Pilkada tetap sesuai jadwal, tanpa penundaan, yang sebenarnya peluangnya diberikan pada Pasal 120, Pasal 122 A Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Ada adagium latin yaitu “salus populi suprema lex esto” dari Marcus Tullius Cicero yang perlu diperhatikan. Adagium ini menghendaki keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi.
Selain adagium di atas, Prof Mochtar Kusumaatmadja juga pernah menulis, hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahkan hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah.
Dalam konteks seperti ini, penulis melihat, pemerintah harus bijak, peka dan segera merespons kondisi darurat pandemi Covid-19 dengan menunda Pilkada di seluruh Indonesia.
Bisa dibayangkan, ditengah pandemi Covid-19 yang semakin memburuk, akan ada setidaknya 738 bakal pasangan calon atau setara 1.476 orang yang mendaftar di KPU (data 7 September 2020).
Belum lagi, tiap bakal calon umumnya membawa tim sukses. Jika 15 orang saja maka sekitar 20.000 orang aktif di Pilkada 2020. Terbayang kerumunan dan efek sebar dari pandemi Covid-19.
Selain itu, berdasarkan data Juli 2020, ada sekitar 109 juta pemilih yang akan terlibat pada Pilkada 2020. Hal ini dipastikan akan memperburuk situasi. (Moch Nurhasim, Kompas, 2020:6)
Kompleksitas di atas diperunyam oleh peraturan perundang-undangan terkait Pilkada. Berdasarkan aturan yang dikeluarkan Gugus Tugas Covid-19, daerah-daerah umumnya dibagi pada zona merah, kuning dan hijau.
Maka, idealnya, Pilkada hanya masih dimungkinkan aman di zona kuning dan hijau. Sementara yang merah sebaiknya dilarang.
Sayangnya, aturan zonasi ini tidak diatur dalam regulasi Pilkada. Dengan demikian, pertimbangan gugus tugas soal zonasi sukar diadopsi secara legal dalam penyelenggaraan Pilkada.
Belum lagi soal mutu Pilkada. Data untuk tahun 2005-2012, kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung tersangkut masalah korupsi mencapai 173 orang atau 37 persen dari total kepala daerah se-Indonesia hasil Pilkada langsung. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu merupakan terpidana berkekuatan hukum tetap.
Maka, dapat dipastikan, dalam kondisi pandemi Covid-19, pemilih akan sukar untuk lebih fokus mendalami profil para calon kepala daerah. Sehingga jebakan korupsi tidak terulang kembali.
Belum lagi akibat pandemi Covid-19 dipastikan jumlah kemiskinan meningkat. Hal tersebut berdampak serius bagi dugaan maraknya politik uang. Politik uang menjamur dilandasi persoalan ekonomi. Diperburuk oleh mentalitas, rendahnya kualitas pendidikan dan pengetahuan pemilih.
Belum lagi potensi merajalelanya politik dinasti yang akan berpengaruh pada korupsi. Sebab mudah dipastikan bila politik dinasti menjalar ke mana mana sebagai produk Pilkada, pengawasan akan melemah karena kekerabatan. Efeknya, peluang meningkatnya korupsi menjadi niscaya.
Dalam konteks analisis Burhanudin Muhtadi, praktik politik dinasti merupakan pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara serta institusi politik.
Politik dinasti sendiri tidak mudah ditangkal secara hukum sebab dasar pembatasannya di Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan MK, pembatasan model demikian melanggar hak konstitusional warga negara.
Berdasarkan uraian di atas, bagi penulis, Presiden harus segera menerbitkan kembali Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu terkait Pilkada setidaknya menyangkut dua hal.
Pertama, menunda Pilkada untuk tahun ini dengan alasan meluasnya pandemi Covid-19 atau setidaknya kedua, hanya boleh diselenggarakan Pilkada tahun ini di daerah zona kuning dan hijau dengan protokol kesehatan ketat serta dikontrol oleh Gugus Tugas Covid-19.
Selain dua hal di atas, harus dipastikan, pengawasan yang lebih melembaga agar tidak terjadi politik uang maupun lahirnya pemimpin daerah yang tidak memiliki integritas. Edukasi dan literasi pemilihan bermutu wajib diperkuat bagi calon pemilih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.