Kur bukan hanya membantu dalam pekerjaan, melainkan juga dalam segala hal lainnya di luar pekerjaan.
Kami teman kerja, kami sahabat, bahkan seperti saudara sendiri. Kur orang yang begitu perhatian, baik dalam dunia pekerjaan maupun pertemanan sehari-hari.
Seorang kawan berkata kepada saya, sosok Kur begitu melekat di hati teman-teman, termasuk teman-teman reporter.
Kepergiannya tak pernah disangka-sangka. Sampai saat ini saya pun masih yakin dia akan sembuh, keluar dari ICU rumah sakit, kembali ngobrol, berbagi cerita, dan menuntaskan janji kami untuk makan di restoran di tengah pandemi.
"Kangen makan sushi," kata Kur awal Juli di grup WhatsApp kami berempat.
"Tulungggg jerawat dmn2 gara2 blm makan sushi," tulis Kur saat itu sambil menunjukkan foto jerawat di wajahnya.
Tingkah Kur memang ada-ada saja. Kalimat-kalimat dalam pesan WhatsApp yang ditulisnya suka bikin ketawa, apalagi kalau sudah share gif. Duh, lucu-lucu gif-nya.
Hingga pada 10 Juli, saya dengar kabar bahwa dia sakit. Saya pun bertanya bagaimana kabarnya. Kur saat itu cuma menjawab "Alhamdulillah baikan Mba,".
Begitulah Kur, dia seolah enggak mau bikin orang sedih. Selalu memperlihatkan bahwa dia "Oke-oke saja".
Tak lama setelah itu, 14 Juli, Kur mengabarkan ke kami bahwa dia akhirnya masuk rumah sakit.
Dengan disertai foto tangannya yang diinfus, Kur membagikan kabar di grup WhatsApp bahwa dia harus dirawat di ICU dan tengah menunggu di IGD ketika itu.
"Loh Kur, katanya sudah baikan," kata saya saat itu.
Mendengar kabar dia masuk ICU, saya mulai takut. Takut sekali terjadi apa-apa padanya. Apalagi, dia sakit di tengah sutuasi pandemi yang kita semua tahu, akibatnya, kabar duka kerap terdengar.
Saya takut, tetapi juga terus berdoa untuk kesembuhan Kur. Hampir setiap hari, sahabat saya yang lain, Rani, mengabarkan kondisi Kur.
Menurut info dari ibunya, Kur menderita infeksi di saluran kemih. Harus ada tindakan ini dan itu. Ventilator pun dipasang untuk membantunya bernapas karena Kur kesulitan bernapas.
Membayangkannya saja begitu ngeri. Kami enggak tega melihat Kur. Hari kedua dia di-ICU, kami sempat melihatnya melalui video call.
Karena di tengah pandemi, keluarga dan penjenguk dibatasi untuk masuk ke ruang rawat pasien.
Bahkan, orangtua Kur setiap hari hanya boleh menungguinya dari luar dengan harap-harap cemas dan akhirnya tahu kabar sang anak dari video call.
Setiap hari pun kami berdoa untuk perkembangan kesehatan Kur. Hingga suatu hari, saya begitu bersyukur dan gembira saat Rani bilang kondisi Kur membaik dari hari ke hari dan sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang HCU.
Namun, tak pernah saya saya sangka, pada 31 Juli, saya mendengar kabar yang tak pingin saya dengar sama sekali.
Seorang teman kantor menelepon saya, bertanya soal kabar Kur setelah Rani menuliskan kalimat "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" di grup WhatsApp redaksi.