JAKARTA, KOMPAS.com - PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka mempersoalkan Pasal 1 angka 2 UU tersebut yang menyebut bahwa “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube serta Netflix.
Baca juga: Kemendikbud Tegaskan Film Dokumenter Netflix di TVRI Tak Gunakan APBN
Hal ini karena Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal, misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sementara itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.
Selain itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Jika terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Sementara bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan," ujar Imam.
"Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," kata dia.
Baca juga: Komisi X Kritik Kemendikbud Gandeng Netflix Terkait Film Dokumenter
Atas alasan-alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut tak kekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.
Pemohon meminta supaya MK mengubah bunyi Pasal 1 Angka 2 UI Penyiaran menjadi, "Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.