Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunanto
Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

Jalan Tengah Menghadapi Pandemi Corona

Kompas.com - 22/06/2020, 11:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA hari belakangan muncul beberapa tindakan masyarakat yang mengindikasikan perlawanan terhadap serangkaian kebijakan terkait penanganan virus corona.

Aksi pengambilan paksa jenazah berstatus pasiden dalam pengawasan (PDP) di di 3 Rumah Sakit (RS) di Makassar, Sulawesi Selatan, pengambilan paksa jenazah berstatus PDP di RS Mekar Sari, Kota Bekasi, dan berbagai ketegangan antara oknum masyarakat dengan aparat TNI/Polri menjadi umum kita saksikan di berbagai saluran media.

Sikap acuh dan mengabaikan protokol kesehatan yang diimbau pemerintah dan para ahli menjadi pemandangan kita sehar-hari. Tiga periode penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa provinsi dan kota di Indonesia sepertinya hanya menjadi kehendak pemerintah.

Pada saat tenaga kesehatan (nakes) berjibaku menaklukkan virus dengan nama Covid-19, masyarakat belum menjadi bagian penting dalam menekan penyebaran virus asal Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.

Baca juga: Wapres Maruf Amin: Tatanan Normal Baru Perlu Inovasi

Dalam melihat fenomena yang muncul akhir-akhir ini, menjadi relevan jika mengutip teori Robert Ted Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970) tentang konsep perampasan (deprivation).

Perampasan menurut Gurr memunculkan resistensi atau perlawanan. Resistensi akan terjadi apabila seseorang merasa yang dihargai dan yang bermanfaat dirampas.

Imbasnya, muncul ketidakpuasan (discontent) yang berakibat pada kemarahan, kemurkaan, kejengkelan dan tergantung pada sedalam apa kelompok masyarakat itu rasanya terampas.

Teori Gurr menemukan relevansinya jika kita kontekskan hari ini. Sejak awal Pemerintah nampak gagap dalam menangani wabah mematikan dengan sebutan Covid-19 itu.

Mulai awal kemunculan virus di Kota Wuhan China pada Desember 2019, pemerintah terkesan meremehkan. Bahkan sejak awal kasus diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah seakan-akan menganggap bahwa Covid-19 akan dengan mudah dan cepat diselesaikan.

Akar masalah masa pandemi

Dalam tiga bulan terakhir masyarakat disuguhkan dengan silang pendapat antarpejabat yang tak kunjung mereda. Mulai beda sikap antar menteri kabinet Indonesia Maju, saling bantah kebijakan pemerintah pusat dengan kepala daerah, semakin menambah benang kusut penanganan Covid-19.

Pada saat masyarakat mulai ketakutan dengan wabah Covid-19, pemerintah justru melontarkan pernyataan bahwa Covid-19 adalah virus yang tidak bisa berkembang di kawasan bercuaca tropis seperti Indonesia.

Baca juga: Panduan Kemendikbud, Guru: Normal Baru Bukan Sekadar Belajar Pakai Masker

Kondisi semakin kompleks saat masyarakat mulai berhadap-hadapan dengan kebiasaan proses pemakaman jenazah yang jauh berbeda dengan sebelumnya, perawatan medis bagi pengidap Covid-19 yang sangat ketat nampaknya hanya menjadi tanggung jawab para nakes saja.

Pemerintah nampak lebih mengedepankan argumentasi dan kepentingan ekonomi ketimbang kesehatan dan keselamatan rakyatnya.

Saat terjadi penolakan proses pemakaman dengan protokol Covid-19 di beberapa tempat, di waktu yang bersamaan pemerintah justru gencar menyuarakan wacana new normal (kenormalan baru). Hal ini justru disalah pahami masyarakat sebagai kondisi normal seperti sebelum ada wabah Covid-19.

Imbasnya seperti yang kita saksikan saat ini, jalanan ibukota kembali macet, stasiun kereta api di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mulai padat dan berbagai bentuk tindakan resistensi masyarakat lainnya yang berpotensi menjadi pusat persebaran virus baru.

Kondisi semacam itu menguatkan teori Gurr bahwa tingkat kualitas kemarahan sebagai gerakan emosional masyarakat disebabkan oleh ketegangan yang justru bersumber pada struktur politik yang ada.

Pemerintah pusat semakin nampak keliru ketika pengerahan aparat TNI/Polri untuk menertibkan masyarakat selama pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 26 Mei lalu tidak dillakukan sejak awal kebijakannya agar masyarakat semakin mematuhi penerapan protokol kesehatan Covid-19. Bukan saat diujung dengan sebutan new normal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com