New normal bukan abnormal
Praktik legislasi di DPR yang terjadi dua bulan lebih selama pandemi Covid-19, menjadi catatan serius bagi publik. Sejumlah produk hukum yang lahir di situasi Covid-19 ini potensial menabrak prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni partisipasi masyarakat.
Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat berada di tiga tahapan sekaligus yakni tahapan perencanaan, pembahasan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Keterlibatan publik dalam tiga tahapan tersebut niscaya diperlukan. Sebagaimana disebut Robert A Dahl (2001), partisipasi yang efektif sebelum memutuskan kebijakan menjadi salah satu kriteria dalam berdemokrasi.
Namun, dalam situasi pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas masyarakat di ruang publik, secara praksis akan menyulitkan publik untuk menyampaikan pandangan dan aspirasinya melalui parlemen lewat jalur formal seperti rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan lainnya.
Apalagi, sampai saat ini belum tersedia instrumen formal penyampaian aspirasi publik misalnya melalui jalur digital.
Padahal, dalam kenyataannya, cabang-cabang kekuasaan negara sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, telah memanfaatkan digital dalam melakukan aktivitas kenegaraan seperti memanfaatkan fasilitas digital untuk pertemuan virtual dan lainnya.
Dalam menjalankan tatatanan normal baru di bidang legislasi harus memastikan kedaulatan rakyat tidak hanya dimaknai sebagai kesepakatan para aktor formal di lembaga administratif parlemen belaka.
Namun, seperti disebut Habermas tentang konsep diskursus (F Budi Hardiman, 2009), kedaulatan rakyat juga harus diuraikan berupa keterhubungan kekuasaan administratif badan pembentuk undang-undang dengan kehendak warga negara.
Wabah Covid-19 selama dua bulan lebih ini perumus peraturan perundang-undangan tampak terjebak pada prosedur formal dalam pengambilan keputusan dengan mengabaikan esensi daulat rakyat itu sendiri. Langkah tersebut cukup berisiko.
Selain karena membelakangi esensi demokrasi, di saat yang bersamaan produk legislasi itu juga berpotensi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) baik dari sisi formal maupun material. Karena sejatinya, tatanan normal baru dalam urusan legislasi ini bukan berarti menjadi tidak normal (abnormal) alias keluar dari bingkai demokrasi dan hukum.
Tatatanan normal baru dalam legislasi mestinya diikuti dengan kreasi kanal baru bagi publik sebagai medium penghubung antara warga negara dengan badan pembuat undang-undang.
Pilihan pahitnya, jika tak mampu membuat ruang baru, para perumus peraturan perundang-undangan sebaiknya menahan diri untuk tidak mengambil keputusan penting di situasi seperti saat ini. (Ferdian Andi | Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) | Pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.