Serta persetujuan DPR terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi UU.
Dua produk legislasi parlemen bersama pemerintah itu telah memantik polemik di masyarakat. Setidaknya, aspirasi berupa catatan kritis dari publik terhadap dua produk legislasi tersebut merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Meski, di atas kertas mayoritas anggota DPR menyetujui pengesahan terhadap produk legislasi, namun publik sebagai entitas penting dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan hakikatnya sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Seperti perubahan UU No 4 Tahun 2009 dari sisi formal dan material pembentukan peraturan perundang-undangan disoal. Seperti soal apakah materi perubahan UU No 4 Tahun 2009 yang dibahas oleh DPR periode 2014-2019 lalu itu layak masuk kategori carry over yakni pembahasan sebuah RUU dapat dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 71A UU No 15 Tahun 2019, RUU yang telah masuk pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh DPR sebelumnya maka bisa dilanjutkan oleh DPR berikutnya dengan catatan hasil kesepakatan antara DPR dan pemerintah.
Pertanyannya, apakah RUU Minerba telah masuk pembahasan DIM saat DPR periode 2014-2019 lalu? Belum lagi masalah materi yang juga banyak mendapat catatan kritis dari publik.
Setali tiga uang dengan hal tersebut, Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020, yang saat ini telah menjadi UU ini, juga mendapat catatan kritis dari publik baik dari siis formal maupun material.
Dari sisi formal, pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 yang dilakukan pada masa sidang yang sama saat Perppu ini diterbitkan oleh Presiden menimbulkan polemik.
Padahal, di ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 disebutkan Perppu harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya. Jika rigid mengikuti bunyi konstitusi, semestinya, Perppu baru disahkan DPR pada masa sidang yang akan dimulai awal Juni ini.
Dari sisi substansi, kritik terhadap Perppu ini juga mengemuka. Mulai mengenai pendelgasian Perppu kepada Presiden untuk mengubah postur APBN melalui Peraturan Presiden (Perpres) sebagaimana tertuang Pasal 12 ayat (2) Perppu No 1/2020) yang secara diametral bertentangan dengan bunyi konstitusi yakni APBN harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Selain itu, norma mengenai kebal hukum para pejabat penyelenggara Perppu ini yang tak bisa dituntut hukum baik pidana, perdata maupun digugat melalui lembaga peradilan administrasi (Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Perppu No 1/2020), dinilai keluar dari bingkai negara hukum.
Selain dua produk legislasi tersebut, pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang banyak mendapat catatan dari publik, juga tetap dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah.
Belakangan DPR juga telah menyetujui perubahan UU MK menjadi RUU usul inisiatif DPR. Dari draft yang muncul di publik, juga tidak sedikit catatan atas substansi materi perubahan tersebut.
Sejumlah polemik yang muncul dalam legislasi di Parlemen tentu menjadi catatan penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Produk legislasi harus dipastikan sesuai dari sisi prosedur dan tepat dari sisi materinya.