Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penangkapan Nurhadi Dinilai Tak Cukup, KPK Diminta Kembangkan Dugaan Pencucian Uang dan Obstruction of Justice

Kompas.com - 06/06/2020, 10:55 WIB
Ardito Ramadhan,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penangkapan eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, oleh KPK pada Senin (1/6/2020) lalu dinilai belum cukup.

Sejumlah pihak mendesak KPK untuk mengembangkan perkara yang menjerat Nurhadi tersebut dengan menjerat pasal pencucian uang dan pasal perintangan penyidikan.

"Kami berharap KPK tidak terlalu larut dalam euforia penangkapan Nurhadi karena permainan sebenernya baru dimulai. Saat ini bagaimana tantangannya KPK bisa mengembangkan perkara ini," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (5/6/2020).

Terkait dugaan obstruction of justice atau perintangan penyidikan, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar mendesak KPK membongkar jejak pelarian Nurhadi dan menantunya.

Baca juga: Eks Komisioner KPK: Istri Nurhadi Bisa Jadi Pintu Masuk Usut Dugaan Pencucian Uang

Haris mengatakan, KPK juga mesti mengungkap pihak-pihak yang membantu Nurhadi dan Rezky selama pelarian.

Menurut Haris, selama pelariannya Nurhadi pasti membutuhkan bantuan orang lain untuk menyediakan kebutuhan harian, pengamanan, hingga yang menjadi penghubung atau komunikator.

"Mereka kan bukan guci atau kipas angin yang diumpetin di lemari, mereka ini manusia jadi ada kebutuhan. Bahkan, penangkapan kemarin pun ada kebutuhan berlebih dari Tun Zuraida yang akhirnya membuat keluarga bahagia ini ketangkep juga," kata Haris.

Kurnia mengatakan, KPK semestinya segera bergerak mengusut dugaan perintangan penyidikan dalam pelarian Nurhadi tersebut.

Baca juga: BW Sebut Kasus Nurhadi sebagai Family Corruption

Oleh sebab itu, ia mengkritik pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang menyebut KPK masih fokus menangani perkara pokok yang menjerat Nurhadi yakni kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA.

"Ini kan statement yang lagi-lagi keliru, kita kan tahu penyidik KPK bukan 1-2 orang, lebih dari 100 orang penyidik KPK yang harusnya dapat dimanfaatkan pimpinan KPK," kata Kurnia.

Ia menambahkan, pengunaan pasal obstruction of justice tersebut pun dapat dilakukan seiring dengan penyidikan terhadap pokok perkara.

Ia mencontohkan kasus mantan Ketua DPR Setya Novanto di mana KPK segera menjerat pengacara Novanto, Friedrich Yunadi dengan pasal perintangan penyidikan karena telah merekayasa kecelakaan yang melibatkan Novanto.

Baca juga: Berkaca Kasus Setnov, KPK Diminta Usut Pidana Lain pada Nurhadi

Pencucian Uang

Selain mengenakan pasal perintangan penyidikan, KPK juga didesak untuk menjerat Nurhadi dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Peneliti ICW Lola Ester bependapat, UU TPPU semestinyd dikenakan untuk semua kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK.

Apalagi, KPK merupakan lembaga yang memelopori penerapan UU TPPU untuk memaksimalkan perampasan aset atau pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi.

"Justru ketika KPK tak lakukan UU TPPU terhadap Nurhadi saat itu kita harus bertanya kenapa KPK tak menerapkan UU TPPU terhadap kasusnya Nurhadi," ujar Lola.

Baca juga: Bambang Widjojanto: Kasus Nurhadi Jadi Momen Bersih-bersih dan Bongkar Mafia Peradilan

Ia menambahkan, Nurhadi juga mempunyai aset yang lebih besar dari profil pendapatannya sebagai seorang Sekjen MA sehingga ia menduga kekayaan tersebut merupakan hasil dari sumber yang tidak sah.

"Orang ini diduga punya aset yang lebih besar dari kewajaran profil pendapatannya, dan itu sesuatu yang sudah diduga kuat tidak dari pendapatannya yang sah," kata Lola.

Senada dengan Lola, Haris juga mendorong KPK menjerat Nurhadi dengan pasal pencucian uang serta menyita sejumlah aset milik Nurhadi.

Aset-aset tersebut antara lain tujuh tanah dan bangunan senilai ratusan miliar Rupiah, empat lahan kelapa sawit, delapan badan hukum, 12 mobil mewah senilai puluhan miliar Rupiah, dan 12 jam tangan mewah senilai puluhan miliar Rupiah.

Baca juga: KPK Didesak Bongkar Jejak Pelarian Nurhadi

"Sebenarnya ada lagi yang belum kita deteksi, akan tetapi ini sebetulnya sudah muncul ke permukaan. Artinya tinggal lakukan penyitaan pasca penetapan TPPU oleh NHD," kata Haris.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sebelumnya menyatakan, KPK membuka peluang menjerat Nurhadi dengan pasal TPPU serta mengenakan pasal obstruction of justice bagi pihak-pihak yang membantu pelarian Nurhadi.

"Artinya sangat terbuka, keterbukaannya itu melihat bagaimana hasil-hasil pemeriksaan dan alat bukti yang kami kumpulkan," kata Ghufron, Selasa (2/6/2020).

Momentum

Di samping itu, penangkapan Nurhadi ini dinilai dapat menjadi momentum bagi Mahkamah Agung untuk membongkar praktik mafia peradilan.

"Kalau mau bongkar mafia peradilan di Indonesia, bongkar lah kasus Nurhadi ini meskipun ada kompetitornya juga Nurhadi, ada mafia-mafia peradilan di tempat lain, kelasnya kelas lebih kecil," kata Haris.

Baca juga: KPK Fokus Tangani Perkara Pokok Nurhadi, Bagaimana soal TPPU?

Mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto pun mendorong Ketua MA yang baru, Syarifuddin, memanfaatkan momentum penangkapan Nurhadi untuk membersihkan lembaga yang dipimpinnya.

"Ini saatnya sebenarnya, Alhamdulillah kita punya pimpinan Mahkamah Agung yang baru, Pak Syafruddin, ini sebenarnya kalau dia mau ini adalah momentum untuk melakukan bersih-bersih," kata BW, sapaan akrab Bambang.

BW, menuturkan, upaya 'bersih-bersih' itu mesti dilakukan karena ia menduga Nurhadi punya jaringan yang cukup kuat di Mahkamah Agung untuk melakukan korupsi.

"Korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri, ada tiga levelnya. Pertama dia biasanya punya messenger, nah messenger-nya itu sebagiannya pasti ada dalam sistem di dalam MA," ujar BW.

Baca juga: KPK Amankan Tiga Unit Kendaraan Saat Tangkap Nurhadi dan Menantunya

Kemudian, BW menyinggung jabatan Nurhadi sebagai Sekjen MA yang disebutnya menjadi pintu masuk bagi setiap pihak untuk berkomunikasi dengan MA.

BW pun menyebut Nurhadi dapat mengelola berbagai kepentingan orang-orang yang bersengketa di MA dan transaksi suap biasanya terjadi pada titik tersebut.

"Jadi artinya kita bisa membongkar kasus itu jauh lebih dahsyat lagi, dari sekadar kasus ecek-ecek yang Rp 46 miliar itu karean dari titik itu kasus ini bisa di-profile jauh lebih besar lagi," kata BW.

Seperti diketahui, Nurhadi, Rezky, dan dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto merupakan tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA.

Baca juga: Sekilas tentang Kasus Nurhadi, Mantan Sekretaris MA yang Sempat Menjadi Buronan KPK...

Nurhadi dan Rezky yang sempat buron ditangkap KPK pada Senin (1/6/2020) lalu sedangkan Hiendra masih diburu KPK.

Dalam kasus tersebut, Nurhadi melalui Rezky diduga telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai mencapai Rp 46 miliar.

Menurut KPK, ada tiga perkara yang menjadi sumber suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi yakni perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, sengketa saham di PT MIT dan gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.

Dalam perkara PT MIT vs PT KBN, Rezky selaku menantu Nurhadi diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com