Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Opsi Terakhir, Ini Penjelasan Darurat Sipil dalam Konteks Bencana

Kompas.com - 01/04/2020, 10:03 WIB
Dani Prabowo,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menyatakan, pembatasan sosial akan dilakukan dengan skala yang lebih besar untuk mencegah penyebaran virus corona yang lebih luas di Tanah Air.

Selain itu, Presiden Jokowi juga sempat mengeluarkan wacana bahwa langkah pembatasan ini bisa saja didukung dengan kebijakan darurat sipil.

"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, lewat video conference dari Istana Bogor, Senin (30/3/2020).

"Sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata dia.

Baca juga: Jokowi Nilai Perlu Physical Distancing Skala Besar Disertai Kebijakan Darurat Sipil

Sehari setelahnya, Jokowi kemudian memberikan penjelasan bahwa darurat sipil merupakan sekadar opsi dari berbagai skenario yang disiapkan pemerintah.

Darurat sipil, kata Jokowi, akan diterapkan jika kondisi akibat Covid-19 dianggap tidak biasa.

"Semua skenario kita siapkan dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kemungkinan yang terburuk. Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal," ujar Jokowi dalam keterangan pers melalui sambungan konferensi video, Selasa (31/3/2020).

"Perangkatnya kita siapkan. Sekarang ini tentu saja tidak," lanjut Jokowi.

Baca juga: Jokowi: Darurat Sipil Baru Opsi, Tidak Diberlakukan Sekarang

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud darurat sipil?

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan, sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 Presiden memang berhak menyatakan status keadaan bahaya.

Penentuan status ini memiliki persyaratan dan ada sebab akibatnya yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini, ia kemudian merujuk ketentuan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Jokowi saat meninjau RS Darurat Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Senin (23/3/2020).DOK. Humas Kementerian PUPR Jokowi saat meninjau RS Darurat Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Senin (23/3/2020).
Undang-undang ini merupakan PRP atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU yang kini disebut Perppu, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya.

"Isi dari UU PRP ini menyatakan keadaan bahaya itu terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan darurat perang," jelas Feri kepada Kompas.com, Selasa (31/3/2020).

Keadaan, imbuh dia, menjadi terminologi yang digunakan. Ada tiga peristiwa yang menyebabkan ditentukannya suatu keadaan yaitu keamanan dan ketertiban yang dianggap akan mengganggu; terjadinya perang; dan keadaan khusus yang membahayakan hidup negara.

Baca juga: Yusril: Status Darurat Sipil Tak Relevan Digunakan Lawan Wabah Corona

Keadaan khusus inilah yang kemudian dimaknai sebagai keadaan lain yang salah satunya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

"(Di dalam UU Penanggulangan Bencana) mereka menggunakan terminologi kondisi," ucapnya.

Feri menjelaskan, dalam menetapkan status keadaan bahaya, perlu dijelaskan apa yang menjadi penyebab keadaan itu terjadi.

Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 disebutkan ada tiga kelompok bencana yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial.

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah menyatakan bahwa wabah Covid-19 yang kini berstatus pandemi global merupakan bencana non-alam.

Baca juga: BNPB: Wabah Covid-19 di Indonesia Bencana Skala Nasional

Ketentuan terkait bencana non-alam ini diatur secara eksplisit di dalam Pasal 1 UU tersebut yang salah satunya diakibatkan oleh penyebaran wabah penyakit.

"Kondisi itu kemudian harus ditingkatkan statusnya, apakah berbahaya atau tidak berbahaya. Pemerintah kemudian memilih menggunakan status keadaan bahaya dengan tingkatan darurat sipil," tuturnya.

Beberapa ruas jalan protokol Kota Tasikmalaya sudah ditutup dalam menerapkan karantina wilayah parsial sebulan penuh yang mulai diberlakukan mulai Selasa (31/3/2020).KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Beberapa ruas jalan protokol Kota Tasikmalaya sudah ditutup dalam menerapkan karantina wilayah parsial sebulan penuh yang mulai diberlakukan mulai Selasa (31/3/2020).

Lalu apa tindakan yang dilakukan saat darurat sipil?

Setelah menetapkan keadaan bahaya dengan tingkat darurat sipil akibat bencana non alam yang disebabkan penyakit, Feri mengatakan, pemerintah harus melakukan langkah strategis sebagai upaya untuk mengatasi pengendalian penyakit tersebut agar tidak menyebar lebih luas.

Dalam hal ini, pemerintah dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk melakukan sejumlah langkah-langkah yang dilakukan.

"Kalau diperhatikan, UU itu (Kekarantinaan Kesehatan) menggunakan bahasa tindakan, upaya. Jadi, ini merupakan tingkatan dari status tadi. Diumumkan status bahayanya, levelnya darurat sipil, dikarenakan apa? Bencana non-alam yaitu karena wabah penyakit. Apa tindakannya? Mengkarantina wilayah," kata dia.

Baca juga: Jokowi Putuskan Pembatasan Sosial Skala Besar, Apa Bedanya dengan Karantina Wilayah?

Presiden sendiri menyatakan akan menerapkan pembatasan sosial skala besar dalam menangani Covid-19.

Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatasan itu merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Jika pada akhirnya Presiden menyatakan status darurat sipil dalam penanganan Covid-19, maka langkah selanjutnya yaitu memutuskan tindakan karantina seperti apa yang harus dilakukan sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Baca juga: Cegah Penyebaran Corona, Pakar Desak Pemerintah Terapkan Karantina Pulau

Sesuai dengan UU tersebut, penentuan status karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sebab, hal ini akan turut berimplikasi pada pemenuhan hak-hak hidup masyarakat di kemudian hari.

"Kalau ujung dari keadaan bahaya ini adalah karantina wilayah, beberapa wilayah tertentu, maka ada tanggung jawab pemerintah pusat untuk kekarantinaan kesehatan masyarakat, bahwa mereka akan menjamin suplai dan segala macamnya. Itu kan bagaimana? Belum soal keuangan dan segala macam," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com