JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan, saat ini terdapat 660 orang WNI yang diduga menjadi teroris pelintas batas atau foreign terrorist fighters (FTF).
Saat ini mereka tersebar di berbagai negara. Mahfud mengatakan, Pemerintah Indonesia tengah mencari solusi antara memulangkan mereka atau tidak.
Apalagi, di antara mereka ada yang meminta pulang. Ada pula negara bersangkutan yang meminta Pemerintah Indonesia memulangkannya.
"Macam-macam nih, ada yang mau memulangkan hanya anak-anak yatim, perempuan dan anak-anak, tapi FTF-nya, fighter-nya itu tidak dipulangkan. Negara yang menjadi tempat juga mempersoalkan bagaimana ada teroris pelintas batas di sini (negaranya)," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (21/1/2020).
Baca juga: Ada 660 WNI Diduga Teroris Pelintas Batas, Pemerintah Cari Solusi
Dari total jumlah tersebut, paling banyak terdapat di Suriah. Tidak hanya di Suriah, mereka juga berada di Afghanistan dan Turki serta beberapa negara lainnya.
Mahfud MD mengatakan, hal tersebut tidak mudah karena berdasarkan prinsip konstitusi, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapat kewarganegaraan.
Setiap warga negara juga tidak boleh berstatus stateless atau hilang kewarganegaraan, berdasarkan amanat konstitusi.
Virus terorisme baru
Masalah lainnya, apabila mereka dipulangkan dikhawatirkan bisa menjadi virus teroris baru di dalam negeri.
Walaupun, kata Mahfud, berdasarkan konstitusi, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapat kewarganegaraannya.
"Ini nanti kan masyarakat juga di bawah macam-macam, ada yang bilang tak boleh dipulangkan, disuruh di situ, tapi ada yang bilang itu hak warga negara," kata dia.
"Tetapi problem-nya, kalau mereka dipulangkan karena hak itu, itu juga menjadi kekhawatiran karena bisa menjadi virus teroris-teroris baru di sini," ujar Mahfud MD.
Baca juga: PPATK Sebut Inovasi Keuangan Digital Perbesar Potensi Pendanaan Terorisme
Hanya saja, pemerintah akan mencari solusi terbaik terlebih dahulu untuk menyelesaikan persoalan ini.
"Tergantung lah nanti bagaimana kita membuat hukumnya," kata dia