Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan Penyiksaan Lutfi, Polisi Humanis Dinilai Masih Sebatas Jargon

Kompas.com - 22/01/2020, 11:45 WIB
Devina Halim,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat bahwa polisi humanis saat ini hanyalah jargon belaka.

Hal itu disampaikan Bambang terkait dugaan penyiksaan oknum polisi terhadap Lutfi Alfiandi, pemuda yang fotonya viral karena membawa bendera di tengah aksi demo pelajar STM, September 2019.

"Pengakuan Lutfi di depan pengadilan tersebut membuktikan polisi humanis masih sebatas jargon," ungkap Bambang ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (22/1/2020).

Menurut Bambang, penerapan kekerasan oleh polisi dalam mengejar pengakuan tersangka sangat tidak manusiawi.

Baca juga: Dipaksa Akui Lempar Batu, Lutfi Si Pembawa Bendera Mengaku Disetrum dan Dipukul

Apalagi, Polri telah memiliki aturan internal yaitu Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dengan adanya aturan tersebut, anggota kepolisian seharusnya melakukan tugasnya termasuk penyidikan tanpa kekerasan.

Kendati demikian, Bambang menuturkan bahwa penggunaan kekerasan oleh polisi pada tersangka bukan hal yang asing.

"Aksi kekerasan polisi pada tersangka itu bukan hal yang asing. Penggunaan cara-cara kekerasan jelas untuk mengejar pengakuan tersangka tentu jauh dari kata manusiawi," kata dia.

Baca juga: Lutfi Alfiandi Mengaku Disetrum, Poisi: Enggak Mungkin, Kami kan Modern

Salah satu contohnya adalah kasus salah tangkap empat pengamen yang dianggap membunuh Dicky Maulana pada tahun 2013.

Kemudian, kasus Imam Hambali alias Kemat dan David Eko Priyanto, yang merupakan korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan M Asrori versi Kebun Tebu alias Mr XX tahun 2008 silam.

Lebih lanjut, Bambang pun mendesak agar dugaan tersebut diusut tuntas. Kemudian, pelaku diminta diberi sanksi apabila terbukti bersalah.

Pelajar melakukan Aksi Tolak RKUHP di belakang Gedung DPR/MPR, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (25/9/2019).KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Pelajar melakukan Aksi Tolak RKUHP di belakang Gedung DPR/MPR, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (25/9/2019).
Sebelumnya, Lutfi Alfiandi mengaku dianiya oknum penyidik saat ia dimintai keterangan di Polres Jakarta Barat.

Lutfi Alfiandi membeberkan bahwa dirinya terus menerus diminta mengaku telah melempar batu ke arah polisi.

"Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setengah jam, lah. Saya disuruh mengaku kalau lempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar," ujar Lutfi di hadapan Hakim Pengedilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).

Baca juga: Amnesty Minta Komnas HAM, Ombudsman, dan Kompolnas Usut Dugaan Penyiksaan Lutfi

Lutfi saat itu merasa tertekan dengan perlakukan penyidik terhadapnya. Sebab, ia disuruh mengaku apa yang tidak diperbuatnya. Desakan itu membuat dia akhirnya menyatakan apa yang tidak dilakukannya.

"Karena saya saat itu tertekan makanya saya bilang akhirnya saya lempar batu. Saat itu kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga," kata Lutfi.

Namun, dugaan penyiksaan itu terhenti saat polisi mengetahui foto Lutfi viral di media sosial.

"Waktu itu polisi tanya, apakah benar saya yang fotonya viral. Terus pas saya jawab benar, lalu mereka berhenti menyiksa saya," ujar dia.

Baca juga: Dugaan Penyiksaan Lutfi, IPW Sebut Oknum Polisi Lakukan Cara Nazi

Saat dikonfirmasi, Kepala Satuan Reskrim (Kasatreskrim) Polres Jakarta Barat, Kompol Teuku Arsya telah membantah pengakuan Lutfi Alfiandi soal pemukulan dan penyetruman.

Arsya pun menegaskan cara setrum dan pemukulan saat pemeriksaan berlangsung tidak berlaku di Kepolisian.

"Enggak ada lagi polisi zaman sekarang begitu, enggak benar, lah," kata Arsya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com