Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua KPU: Pemangkasan Anggaran Jangan Sampai Ganggu Substansi Pilkada

Kompas.com - 21/01/2020, 17:16 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, pemangkasan anggaran sebaiknya tidak mengganggu substansi penyelenggaraan Pilkada 2020

Menurutnya, hal-hal penting yang sudah diatur dalam Undang-undang (UU) tidak boleh diubah.

"Artinya hal-hal yang sangat substansial dan penting harus dilaksanakan dengan metode dan cara yang sudah ditentukan oleh undang-undang tidak bisa diubah," kata Arief saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (21/1/2020).

Baca juga: 5 Daerah Tak Bahas Anggaran Pilkada Terbuka, KPU Minta Tito Pastikan Transparansi

Salah satu kegiatan yang sudah disebut dalam UU adalah memfasilitasi kampanye calon kepala daerah.

"Misalnya kita harus melaksanakan kegiatan A, biayanya memang agak banyak, ya kita harus laksanakan. Misalnya perintah untuk memfasilitasi kegiatan kampanye, itu perintah UU, ya sudah kita jalankan," lanjutnya.

Arief menuturkan pihaknya belum menerima laporan resmi daerah mana saja yang memangkas anggaran penyelenggaraan pilkada 2020.

Menurut Arief, tidak semua daerah memutuskan memangkas anggaran pilkada dengan melibatkan KPU setempat.

"Belum tahu. Kita belum terima laporan resmi dari seluruh daerah. Memang ada beberapa yang diputuskan tanpa melibatkan KPU. Ada juga yang meminta atau mengajak KPU untuk membahas," ujar Arief.

Baca juga: Mendagri Sebut Ada Daerah yang Belum Tuntas Bahas Anggaran Pilkada

 

Karena itu, Arief belum bisa menjelaskan secara detail daerah mana saja yang memangkas anggaran untuk pilkada.

Lebih lanjut Arief menjelaskan, anggaran penyelenggaraan pilkada 2020 secara keseluruhan mencapai Rp 9,9 triliun.

Jumlah itu berdasarkan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pelaksanaan pilkada dari 270 daerah.

Sebelum NPHD dari 270 itu disepakati, jumlah pengajuan anggaran oleh KPU di daerah sebesar Rp 11, 2 triliun.

"KPU mengusulkan Rp 11,2 triliun. Nah kemudian dilakukan pembahasan, dalam pembahasan itu kemudian ditandatangani (anggaran pilkada) Rp 9,9 triliun dari 270 daerah," ungkapnya.

"Dari Rp 9,9 triliun itu ternyata ada beberapa daerah yang meminta untuk dilakukan rasionalisasi (pemangkasan)," tambahnya.

Baca juga: KPU: Jika Anggaran Dipangkas, akan Mengganggu Tahapan Pilkada

Sebelumnya, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Thantowi, mengungkapkan adanya pemangkasan anggaran pelaksanaan pilkada 2020 di sejumlah daerah.

Penyebabnya, pemerintah daerah (pemda) tidak memiliki anggaran yang cukup.

"Sebagaimana yang kita sampaikan dalam rapat dengan Komisi II kemarin, bahwa ada beberapa pemda yang secara sepihak melakukan rasionalisasi anggaran pilkada di bawah angka yang sudah disepakati," ujar Pramono ketika dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (17/1/2020).

"Mereka (pemda) beralasan bahwa kemampuan keuangan sangat terbatas," lanjut Pramono.

Kesepakatan tentang anggaran pilkada ini sudah tertuang dalam naskah persetujuan hibah daerah (NPHD).

Pramono menuturkan, pemangkasan ini berdampak kepada anggaran penyelenggaraan pemilu untuk KPU dan anggaran pengawasan untuk Bawaslu.

"Baik KPU maupun Bawaslu di beberapa kabupaten/kota mengalaminya (pemangkasan)," ungkapnya.

Baca juga: Sejumlah Pemda Pangkas Anggaran Penyelenggaraan Pilkada 2020

 

Pramono tidak merinci daerah mana saja yang terdampak pemangkasan anggaran pilkada.

Dia hanya mencontohkan di Mandailing Natal ada pemangkasan anggaan sekitar Rp 3 miliar.

Kemudian, di Ogan Komering Ulu Timur mengalami pemangkasan anggaran pilkada hingga Rp 10 miliar.

''Untuk kejadian di Ogan Komering Ulu Timur inisiatif pemotongannya dari DPRD. Alasannya karena keterbatasan APBD, " ungkap Pramono.

Kondisi ini, kata dia, tentu mempengaruhi penyelenggaraan Pilkada 2020 di daerah yang mengalami pemangkasan anggaran.

Lebih lanjut, Pramono menjelaskan dampak yang terjadi akibat pemotongan.

"Salah satunya, pemda main pukul rata jumlah pemilih per tempat pemungutan suara (TPS)," tuturnya.

Sistem pukul rata yang dimaksud adalah membagi jumlah penduduk dengan angka maksimal jumlah pemilih di TPS berdasarkan UU Pilkada, yakni 800 orang.

"Pokoknya jumlah TPS harus sekian, yakni (ditentukan) lewat membagi jumlah penduduk dengan angka 800. Tapi kan secara faktual, ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan TPS," ungkapnya.

Baca juga: Sudah Lewat Deadline, 5 Kabupaten Belum Sepakati Anggaran Pilkada 2020

Misalnya, kata Pramono, ada aturan yang tidak boleh menggabungkan desa/kelurahan tertentu dalam satu TPS.

Selain itu, jarak rumah penduduk ke TPS tidak boleh terlalu jauh. Karenanya, dalam realisasi di pilkada selama ini jumlah pemilih per TPS sangat variatif.

"Ada yang sampai 600 orang, tapi tidak jarang juga yang di bawah 300 orang. Sangat tergantung kondisi lapangan," tutur Pramono.

Sementara dalam konteks daerah yang mengalami pemangkasan anggaran tadi, pemda memberikan dana pilkada sesuai jumlah TPS menurut perhitungan mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com