Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sidik Pramono
Dosen dan Peneliti

Pengajar pada Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia serta Peneliti pada Election and Governance Project

Kemuda(h)an Berpemilu

Kompas.com - 30/12/2019, 17:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PARTISIPASI politik dalam pemilihan umum masihlah menjadi hajat hidup kelompok “dewasa”, di mana Undang-Undang Pemilu menyatakan bahwa pemilih haruslah berusia sekurangnya 17 tahun atau sudah pernah menikah.

Namun, data memperlihatkan bahwa kelompok pemilih muda kian dominan dalam komposisi pemilih terdaftar secara keseluruhan. Pada Pemilu 2019, komposisi pemilih muda mencapai separuh dari jumlah pemilih terdaftar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok milenial menjadi pemilih terbesar dengan persentase mencapai 37,7 persen dan pemilih pemula mencapai sebanyak 12,7 persen. Tren dominasi kelompok pemilih muda tersebut diprediksi akan terus terjadi pada Pemilu 2024.

Realitas politik saat ini, partisipasi kelompok muda dalam ranah politik praktis memang belum meningkat signifikan.

Baca juga: INFOGRAFIK: Sistem E-Voting yang Diusulkan Mendagri untuk Dikaji

Akan tetapi, melihat komposisi sebagaimana di atas, partisipasi pemilih muda amatlah menentukan dan karenanya menjadi tantangan besar bagi penyelenggara maupun peserta pemilu untuk tetap memastikan para pemilih muda berpartisipasi menggunakan hak pilihnya.

Terlebih, riset International IDEA yang disampaikan pada “Voters Turnout Trends around the World” (2016) memperlihatkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu secara global cenderung menurun secara signifikan sejak 1990-an.

Hanya saja Pemilu 2019 lalu terbukti sanggup mematahkan target partisipasi sebesar 77,5 persen yang dipatok dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebesar 81,97 persen; angka partisipasi pada Pemilu Anggota DPR sebesar 81,69 persen; dan angka partisipasi pemilih dalam Pemilu Anggota DPD sebesar 82,15 persen.

Terlepas dari capaian yang baik tersebut, tingkat partisipasi harus tetap dijaga. Bagaimanapun, partisipasi politik para pemilih masih menjadi parameter signifikan keberhasilan penyelenggaraan pemilu.

Karenanya, di luar soal pendidikan politik yang harus terus-menerus dilakukan untuk mendidik pemilih menjadi kian rasional; kebutuhan generasi kekinian pun harus menjadi bahan pertimbangan. Ceruk pemilih muda ini harus dijaga untuk memastikan tingkat partisipasi tetaplah tinggi.

Generasi yang (ingin) selalu bergegas, generasi yang kian akrab dengan teknologi, akrab dengan dunia maya, dan seolah menjadi “anak kandung internet”, adalah gambaran pemilih muda yang bakal masuk menjadi bagian penting dalam daftar panjang calon pemilih pada pemilu-pemilu mendatang.

Karenanya, sembari tetap menjadikan (teknis) pemilu yang mudah bagi pemilih generasi lebih tua, pemilu mendatang harus bisa memenuhi tuntutan kebutuhan generasi muda.

Baca juga: Mendagri Dorong KPU Lakukan Kajian E-Voting, Apa Itu?

Generasi yang lebih kekinian, yang kerap dinilai sebagai kelompok yang berciri lebih mudah bosan, serba ingin cepat dan praktis, di samping memiliki pengetahuan yang lebih mendalam soal penggunaan beragam platform dan perangkat mobile.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 82 juta yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-8 dunia dengan jumlah pengguna yang paling sering mengakses internet. Data tahun 2018, pengguna internet di Indonesiamelonjak menjadi sekira 150 juta.

Menimbang kondisi demikian, penggunaan teknologi (informasi komunikasi) kian menjadi hal yang tidak terhindarkan. Ibaratnya, kelompok pemilih muda ingin pemilu berjalan semudah menggeser layar gawai dan hasilnya pun bisa diketahui secepat mungkin.

Identifikasi kebutuhan

Kebutuhan kita secara umum adalah pelaksanaan pemilu yang praktis, mulai dari tahapan sebelum, saat pemungutan suara, maupun sesudahnya. Secara umum, keberterimaan atas hasil pemilu cenderung membaik.

Ukuran sederhananya, permohonan pengujian perselisihan hasil pemilu pada Pemilu 2019 cenderung menurun dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pun tidak terlalu banyak.

Dari 260 perkara perselisihan Pemilu Anggota Legislatif 2019 yang ditangani oleh MK tersebut, hanya 12 perkara yang diputus dikabulkan MK.

Negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda, dan Kanada sudah (atau pernah) menerapkan e-voting. Pun sejumlah negara demokrasi “setengah-maju”, seperti India, Brasil, dan Filipina.

Hasilnya yang signifikan dan kerap diberi catatan tebal, partisipasi pemilih Filipina dalam Pemilu naik berkat e-voting, di mana partisipasi 81,62 persen dari 54,4 juta daftar pemilih yang menggunakan hak suaranya menjadi Pemilu 2016 menjadi yang terbaik dalam sejarah partisipasi publik pada pemilu Filipina.

Swiss dan Estonia juga kerap dicontohkan sebagai negara yang sukses menyelenggarakan pemilu dengan e-voting, terutama dikaitkan dengan peningkatan partisipasi pemilih.

Namun di sisi lain, tidak bisa pula diabaikan realitas bahwa sejumlah negara memilih kembali ke metode konvensional untuk pemungutan suara. Jerman dan Belanda adalah sebagian negara yang memilih pulang ke metode konvensional, antara lain karena alasan risiko manipulasi dan kecurangan yang sulit dideteksi.

Penurunan penggunaan e-voting maupun e-counting akibat penurunan kepercayaan seperti itu tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga di negara-negara Amerika Utara dan Amerika Latin.

Kondisi seperti itu tentunya harus diperhitungkan, termasuk oleh kelompok muda yang kerap mensimplikasi teknologi sebagai penyelesai semua persoalan namun kurang peka terhadap ancaman peretasan teknologi kepemiluan yang bisa berdampak besar.

Undang-Undang Pemilu memberikan kesempatan bagi KPU untuk menyelesaikan rekapitulasi (manual) hasil pemilu selama maksimal 35 hari untuk menyelesaikan rekapitulasi yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat kecamatan, berlanjut ke kabupaten/kota, provinsi, hingga ke nasional.

Generasi mendatang dengan segala karakteristik yang melekatinya tentu setidaknya menginginkan pengumuman hasil pemilu lebih cepat diketahui.

Keberadaan lembaga survei dan hitung cepat (quick count) hanya bisa memberikan gambaran atau indikasi awal mengenai siapa yang memenangi pemilu, sementara soal detailnya hanya bisa diperoleh dari hasil resmi pemilu.

Bahkan rentang yang jauh antara publikasi hitung cepat dengan hasil resmi oleh penyelenggara bisa menjadi bumerang membukakan celah kecurangan, antara lain karena merosotnya minat publik untuk bersetia memantau proses rekapitulasi secara berjenjang.

Teknologi sebagai solusi

Ketika kebutuhan menjalankan pemilu yang lebih praktis kian mendesak, penggunaan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) masih dianggap sebagai solusi agar pemilu bisa berjalan lebih baik: lebih cepat, mudah, murah, dan terutama menghemat waktu.

Penggunaan teknologi dalam pemilu secara umum dapat dipilah menjadi teknologi pemungutan suara elektronik (e-voting) dan rekapitulasi perolehan suara elektronik (e-recap, rekapitulasi elektronik).

Namun penggunaan tersebut mestinya didasari pertimbangan holistik, antisipatif terhadap dampak yang mungkin muncul, dan disertai jaminan transparansi dan kepastian etik, kepastian privasi, inklusivitas, dan terutama memberikan keyakinan terkait akurasi hasil dan dapat dipercaya.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi saat memutuskan permohonan uji materi pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan Bupati Jembrana I Gede Winasa bersama 20 kepala dusun di Kabupaten Jembrana, menyatakan memperbolehkan pemilu dengan metode electronic voting (e-voting) atau pemungutan suara menggunakan teknologi informasi dengan sejumlah syarat.

Metode e-voting diperbolehkan asal memenuhi sejumlah syarat secara kumulatif, antara lain tidak melanggar asas langsung umum bebas rahasia (luber), jujur, dan adil dan juga daerah yang menetapkan metode ini sudah siap, baik dari sisi teknologi, pembiayaan, sumberdaya manusia, perangkat lunaknya, dan kesiapan masyarakat.

Siap-tidaknya sebuah daerah tentu menjadi pertimbangan yang tidak bisa dinafikan. Tidak terbantahkan bahwa kompleksitas pemilu di Indonesia begitu tinggi; bukan hanya karena beberapa level pemilihan yang dilakukan berbarengan, tetapi juga kondisi geografis Indonesia yang begitu beragam dan menantang.

Tidak bisa disangkal bahwa e-voting dianggap lebih mutakhir, lebih cepat, dan bisa lebih efisien. Namun tidak bisa pula ditampik bahwa pentingnya kerahasiaan dan keamanan juga harus menjadi bahan pertimbangan penting.

Percepatan perolehan hasil bisa tidak akan berarti andaikan aspek kerahasiaan dan keamanan tidak terpenuhi, terutama menghadapi gelombang kesalingtidakpercayaan terhadap proses dan hasil pemilu yang muncul dari berbagai stakeholder.

Belum lagi keharusan untuk memutakhirkan perangkat yang digunakan yang menjadikan ketersediaan anggaran potensial menjadi isu tersendiri dari pemilu ke pemilu.

Kajian International IDEA (2011) menyebutkan sejumlah kelemahan mendasar jika e-voting diterapkan, semisalnya kurangnya transparansi, keterbatasan keterbukaan dan pe mahaman sistem bagi yang bukan ahlinya, dan juga potensi terlanggarnya kerahasiaan pemilihan, khususnya dalam sistem yang melakukan autentikasi pemilih maupun suara yang diberikan.

Risiko manipulasi oleh orang dalam dengan akses istimewa ke sistem atau oleh peretas dari luar; rasanya juga masih menjadi pertanyaan laten penerapan e-voting dalam pemilu, di Indonesia pada khususnya. Kerumitan sistem pemilu di Indonesia, khususnya untuk pemilu DPR/DPRD, juga harus menjadi pertimbangan tersendiri.

Karenanya, solusi yang lebih memungkinkan untuk dijalankan saat ini adalah penggunaan e-recap (rekapitulasi elektronik). Rekapitulasi elektronik ini diyakini akan sangat membantu kinerja para petugas penyelenggara pemilu sekaligus mempercepat proses penghitungan suara dibandingkan secara manual seperti yang dilakukan saat ini.

Prosedur yang dilakukan oleh KPU dengan Sistem Perhitungan Suara (Situng) sebenarnya merupakan embrio yang baik untuk mempercepat rekapitulasi. Rekapitulasi secara elektronik, sekalipun bukan merupakan acuan hasil resmi pemilu, sebenarnya sudah dilakukan oleh KPU pada Pemilu 2004, 2009, maupun 2014.

Benar bahwa ada pihak yang menyangsikan kesahihan Situng pada Pemilu 2019 lalu. Namun protes sedemikian justru menunjukkan sisi baik rekapitulasi secara elektronik, yaitu kemamputelusuran (traceability) hasil pemilu. Bisakah dibayangkan bagaimana menelusur jejak pemungutan suara di TPS jika metode e-voting yang dterapkan?

Dengan persiapan yang lebih baik, termasuk penyiapan perangkat hukum yang lebih kuat memayunginya, niscaya teknologi ini bisa diandalkan untuk mempersingkat waktu penghitungan hasil dengan tetap memastikan transparansi untuk pemilu yang jujur dan adil.

Ujungnya, celah keamanan yang terjaga, keterlacakan hasil pemungutan suara di TPS niscaya akan menjaga kepercayaan publik. Cara ini sekaligus akan mengurangi badan lembaga adhoc pelaksana pemilu di tingkat desa/kelurahan maupun kecamatan.

Bahkan perampingan lembaga adhoc tersebut sangat dimungkinkan jika rekapitulasi elektronik diterapkan. Dengan pengalaman Situng, penyelenggara pemilu bahkan tidak perlu memulai langkah dari nol sama sekali.

KPU sendiri pada tahun 2016 telah menyelesaikan Kajian Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Pemilu dan Pilkada yang antara lain menyatakan rekapitulasi elektronik merupakan pilihan strategis alih-alih e-voting atau e-counting.

Akhirnya, pengalaman berpemilu dari waktu ke waktu senantiasa memunculkan perbaikan. Bukan hanya soal sistem, tetapi juga sisi teknis penyelenggaraan.

Perkembangan waktu, perkembangan teknologi, pada gilirannya akan mendesakkan gelombang baru dalam berpemilu, yakni pemilu yang lebih mudah dan menyenangkan, terutama bagi kelompok pemilih muda. 

Hal yang pasti, semua pihak tentu sependapat bahwa penyelenggaraan pemilu di Indonesia harus naik level, yakni menjadikan pemilu yang benar-benar jujur dan adil serta hasil yang terpercaya dengan pelaksanaan yang efektif, efisien, dan menjangkau semua kalangan pemilih. (Sidik Pramono, Peneliti pada Election and Governance Project)

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com