JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah didesak segera melakukan ratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan warga negara dari penghilangan paksa.
"Konvensi tersebut merupakan salah satu landasan hukum HAM internasional yang dapat memberikan perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa," ujar Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma di Hotel Aeon Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Desakan konvensi ini digulirkan sejumlah LSM. Seperti Kontras, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (KOHI), dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD).
Baca juga: Kontras Minta KKR Diisi Orang-orang Kompeten jika Dihidupkan Lagi
Feri mengatakan, konvensi ini mendorong pemerintah untuk melindungi, menegakan, dan memajukan HAM.
Feri mengatakan konvensi ini dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa.
Mengingat, Indonesia memiliki rekam jejak kelam atas rentetan penghilangan secara paksa.
Seperti yang terjadi pada rezim Orde Baru, mulai dari pelanggaran berat pada peristiwa 1965-1966, Timor-Timur 1975-1999, dan Tanjung Priok (Jakarta) 1984, Tragedi Talangsari (Lampung) 1989.
Kemudian Masa Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985, dan Penculikan aktivis 1997-1998.
Feri mengungkapkan, rekomendasi ini juga sejalan dengan rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada 2009 mengenai kasus penculikan dan penghilangan secara paksa 1997-1998.
Rekomendasi itu masuk dalam butir keempat yang isinya, merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa di Indonesia.
Feri mengatakan, pada 2010, pemerintah telah menandatangani konvensi tersebut pada 2010.
Kemudian rencana ratifikasi dilanjutkan dengan dua kali masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM, yakni pada periode 2011-2014 dan 2015-2018.
"Keuntungan melakukan ratifikasi konvensi bagi Indonesia adalah memperkuat sistem legislasi dan supremasi hukum dalam negeri. Hal tersebut berkaitan dengan pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarga korban," katanya.
Dalam kasus penghilangan orang secara paksa, kepastian hukum memberikan afirmasi akan keberadaan status korban.
Kepastian hukum tersebut juga dianggap penting bagi masyarakat agar terhindar dari segala bentuk tindak penghilangan paksa.
Termasuk mencegah keberulangan praktek penghilangan paksa dan menjadi bentuk pengakuan. Bahwa, praktek penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan yang serius.
Feri menyatakan, pengesahan kovensi ini juga akan membuktikan posisi pemerintah Indonesia memang memiliki komitmen yang tinggi untuk mendorong dan menegakkan HAM.
Tak hanya itu, citra Indonesia akan semakin baik di mata dunia. Terlebih, Indonesia juga ditunjuk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB.
Baca juga: Gerindra Sebut Isu Penghilangan Aktivis Reformasi oleh Prabowo Didaur Ulang Jelang Pilpres
Menurut Feri, disahkannya konvensi ini juga menunjukkan pemerintah Indonesia memiliki komitmen pemenuhan hak-hak korban. Seperti hak keadilan, hak kebenaran, hak reparasi, dan jaminan ketidakberulangan.
"Pengesahan akan memperkuat inisiatif yang telah dilakukan pemerintah Indonesia di tingkat regional maupun Internasional mengenai pengesahan Konvensi Hak Anak, akan membantu implementasi rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI, Timor Leste serta reunifikasi stolen children," jelas Feri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.