JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, terdapat 549 peristiwa pelanggaran atas kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla periode 2014-2019.
Kepala Riset Penelitian Kontras Rivanlee Anandar mengatakan, tingginya angka tersebut menjadi pekerjaan rumah pemerintahan periode kedua Jokowi bersama Kiai Haji Ma'ruf Amin.
"Catatan Kontras selama lima tahun (2014-2019), terdapat 549 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah. Ini pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi tersebut," kata Rivanlee di Kantor Kontras, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (21/10/2019).
Baca juga: PR untuk Pemerintah dan Parlemen Terpilih, Jaminan Kebebasan Beragama
Kontras mencatat lebih spesifik, pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah ini berbentuk, persekusi, penganiayaan, kekerasan atau intimidasi oleh kelompok mayoritas tertentu terhadap kelompok agama minoritas tertentu.
Fakta mengejutkan tampak pada catatan Kontras selanjutnya. Pelanggaran-pelanggaran itu disebut banyak pula yang dilakukan oleh masyarakat sipil, yakni sebanyak 163 kasus.
"Ini cukup berbahaya karena sipil bergerak jadi pelaku. Mereka bergerak tanpa membawa bendera organisasi dan melakukan tindak pelanggaran terhadap kelompok minoritas seperti intimidasi, penyerangan, penghalangan, dan beribadah," kata dia.
Aktor terbanyak setelahnya yang melakukan pelanggaran adalah pemerintah, organisasi masyarakat (ormas), dan polisi.
Rivanlee menambahkan, pelanggaran tersebut disebabkan oleh masih ada kekosongan di ruang hukum yang menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah.
Baca juga: Setara Institute: 2018, 202 Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Terjadi
"Penyebab masalah kebebasan beragama ini sedang berlangsung, karena adanya produk hukum yang belum menjamin kebebasan," kata dia.
Meskipun dalam UUD 1945 sudah ditegaskan bahwa setiap orang berhak dalam kebebasan beragama, tetapi masih ada perundangan turunannya yang berlainan.
Misalnya peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri bersama Jaksa Agung dalam SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 soal Jamaah Ahamdiyah Indonesia, RKUHP yang mengancam kebebasan beragama, peraturan daerah yang diskriminatif, serta beberapa peraturan lainnya.