Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM: Kecenderungan Sikap Intoleransi Menguat di Kalangan Anak Muda Terdidik

Kompas.com - 15/11/2019, 18:19 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan, ada kecenderungan sikap intoleransi yang semakin menguat di kalangan anak muda terdidik.

Temuan ini berdasarkan hasil kajian Komnas HAM sejak 2012-2018.

Ahmad mengungkapkan indeks kecenderungan sikap intoleransi semakin menguat hingga mencapai lebih dari 50 persen.

"Sekarang kecenderungan sikap intoleransi ini sudah di atas 50 persen, dari yang tadinya baru 20-an persen. Ada kondisi yang meningkat terus sejak 2012 hingga 2018," ujar Ahmad saat ditemui usai mengisi diskusi di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2019).

Baca juga: Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi

Data ini, kata Ahmad merupakan hasil kompilasi dari kajian Komnas-HAM, laporan yang masuk ke Komnas-HAM, penelitian media, dan penelitian dari sejumlah lembaga pemerhati kasus HAM dan kebebasan beragama.

Kecenderungan intoleransi yang menguat tersebut terjadi pada anak muda di rentang usia 15-35 tahun.

Secara spesifik, Ahmad menyebut tren peningkatan kecenderungan sikap intoleransi pada anak muda kelas menengah yang tinggal di kota dan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi.

Baca juga: Ketum PSI Sebut Ancaman Terbesar Indonesia adalah Intoleransi

Ahmad kemudian memberikan contoh kecenderungan dari sikap tersebut.

"Misalnya, penerimaan mereka kepada praktik agama orang lain. Contohnya saat individu beragama A ditanya jika ada individu dari agama lain beribadah di dekat tempat tinggalnya, dia menyatakan menolak, " ungkap Ahmad.

Sikap yang sama juga ditemukan pada individu agama B ketika mengetahui ada orang beragama lain ingin beribadah di lingkungan tempat tinggalnya.

"Dan itu kecenderungan sikap intoleransi (yang terkait agama dan beribadah) meningkat dari tahun ke tahun, " tutur Ahmad.

Baca juga: 5 Fakta Kasus Intoleransi di Bantul, Isi Instruksi Gubernur DIY hingga Tetangga di Sini Baik Semua

Sementara itu, pada konteks pergaulan, sikap yang cenderung intoleransi pun meningkat.

"Yang paling dasar yakni bagaimana dia bergaul. Misalnya di lingkungan kerja ada keinginan untuk bergaul dengan yang seagama, sesuku, dan sebagainya, " kata Ahmad.

Ahmad kemudian mengaitkan temuan ini dengan pembelajaran di sekolah dan universitas. Menurut dia, ada beberapa faktor pendorong meningkatnya sikap yang cenderung intoleran.

Baca juga: Buya Syafii: Tangkal Intoleransi dan Radikalisme, Pelajaran Agama Jangan Cuma Penuhi Ranah Pengetahuan

Pertama, pendidikan agama di sekolah masih menonjolkan narasi eksklusifisme.

"Kurikulum di sekolah yang mengajarkan untuk menghargai agama yang berbeda semakin hari semakin berkurang. Juga, kurikulum yang lebih menekankan persoalan akademik saja, " jelas Ahmad.

Kedua, di tingkat perguruan tinggi, ada organisasi mahasiswa yang sifatnya eksklusif. Organisasi seperti ini mempengaruhi perkembangan sikap intoleran karena enggan bergaul dengan organisasi lain.

Baca juga: Komoditifikasi Intoleransi

Meski sikap kecenderungan sikap intoleransi menguat, Ahmad menyebut bukan berarti sikap anak muda saat ini sudah mengarah kepada diskriminasi.

"Kecenderungan ini kan bibit-bibit ya. Kalau tidak diantisipasi akan mengarah kepada sikap intoleransi yang lebih jauh seperti diskriminasi, mempersekusi, mengusir orang dan sebagainya, " tambah Ahmad.

Kompas TV Portal aduan Aparatur Sipil Negara, ASN, diluncurkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, bersama 11 kementerian dan lembaga negara, selasa lalu.<br /> <br /> Portal aduan yang diakses melalui situs aduanasn.id, bissa digunakan oleh warga masyarakat, untuk melaporkan pegawai negeri yang menyebarluaskan konten radikalisme, baik yang bermuatan intoleransi, anti NKRI dan pancasila, maupun isu sara yang memecah bangsa.<br /> <br /> Sejumlah pimpinan daerah menyatakan kesetujuan dengan keberadaan portal aduan untuk melaporkan asn yang terlibat paham radikal. Portal aduan untuk ASN, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, perlu sebagai cara mengerem radikalisme di kalangan ASN. Namun juga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi dan menjadi alat represi, jika penggunaannya tidak terkontrol. Mengapa portal aduan ini perlu dibuat, padahal telah ada mekanisme pengawasan ASN? Dan seberapa efektif portal aduan ini mengatasi radikalisme, dan justru tidak disalahgunakan?.<br /> <br /> Simak dialog berikut bersama Sekretaris Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mudzakir, Pengamat Teknologi Informasi, Abimanyu Wahyuwidayat, serta Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com