WACANA amendemen terbatas UUD 1945 terus bergulir pascapergantian periode Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Agenda amendemen UUD 1945 turut dijadikan transaksi dalam lobi-lobi pemilihan ketua MPR beberapa waktu lalu.
Salah satu syarat dukungan yang diberikan PDI-P kepada Bambang Soesatyo untuk menduduki kursi ketua MPR adalah agar politisi Golkar tersebut mendukung kelanjutan rencana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan haluan negara.
Rencana amendemen terbatas UUD 1945 menyeruak ke permukaan pasca-Pemilu 2019 dan menjadi bagian dari lobi-lobi partai politik di Parlemen setelah didorong oleh PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Amendemen UUD 1945, untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berkewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), merupakan salah satu butir rekomendasi yang dihasilkan kongres kelima PDI-P yang digelar di Bali Agustus lalu.
Amendemen terbatas UUD 1945 juga menjadi rekomendasi MPR periode terdahulu kepada MPR periode 2019-2024.
Ketua MPR periode 2014-2019, Zulkifli Hasan, mengklaim semua fraksi MPR dari unsur DPR serta DPD sudah sepakat atas rekomendasi tersebut.
PDI-P sebagai pengusung rencana amendemen UUD 1945 menghendaki sebuah haluan pembangunan jangka panjang nasional, layaknya GBHN pada era Orde Baru, yang akan menjamin kontinuitas arah pembangunan meskipun terjadi pergantian rezim pemerintahan.
Menurut PDI-P, haluan pembangunan jangka panjang yang menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintahan harus ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Karenanya, diperlukan amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Meski MPR menjadi lembaga tertinggi negara, PDI-P menginginkan presiden tetap dipilih oleh rakyat.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P, Ahmad Basarah, memastikan amendemen terbatas tidak menyentuh tata cara pemilihan presiden. Ia menyatakan, PDI-P hanya ingin menambah kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN.
Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan memilih presiden dan menetapkan GBHN telah dihapuskan melalui empat kali amendemen UUD 1945 pascareformasi.
Status MPR diturunkan menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan tiga lembaga tinggi negara lainnya, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Presiden RI.
Sementara Presiden RI bukan lagi sebagai mandataris MPR, namun mandataris rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat.
Keinginan amandemen terbatas UUD 1945 mendapat kritik dan penolakan, khususnya dari kalangan masyarakat sipil.
Pasalnya, secara logika, mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi yang berwenang menetapkan GBHN memiliki implikasi ketatanegaraan Presiden menjadi mandataris MPR.
Hal ini karena Presiden harus menjalankan acuan pembangunan yang ditetapkan MPR, dan karenanya Presiden dipilih oleh MPR.
Pun ketika presiden gagal melaksanakan acuan pembangunan yang ditetapkan MPR, maka Presiden berpeluang dimakzulkan oleh MPR.
Oleh karena itu, tak berlebihan jika muncul kekhawatiran bahwa amendemen yang semula dijanjikan secara terbatas akan menjadi bola liar yang akan merembet ke hal-hal lain seperti tata cara pemilihan presiden, yang pada akhirnya akan membawa Indonesia kembali ke zaman Orde Baru.
Kekhawatiran ini semakin menguat dengan munculnya kesepakatan antara Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, agar amendemen UUD 1945 dilakukan secara menyeluruh.
Rencana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan GBHN akan dikupas tuntas pada talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (16/10), yang disiarkan di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Bagaimana implikasi dikembalikannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi untuk menetapkan GBHN? Bagaimana pula mekanisme ketatanegaraan dari pelaksanaan GBHN?
Kalangan masyarakat sipil menilai saat ini tidak ada alasan fundamental untuk mengamendemen
UUD 1945. Kebutuhan akan haluan pembangunan jangka panjang bisa diakomodasi melalui peraturan setingkat undang-undang.
Acuan pembangunan jangka panjang pun sebenarnya telah terakomodasi dalam UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Selain itu, ada pula UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua UU ini bisa direvisi sebagai penguatan haluan pembangunan jangka panjang.
Tak heran jika kuatnya keinginan partai politik untuk mengamendemen UUD 1945 memunculkan kecurigaan memiliki agenda tersembunyi, yakni mengembalikan kekuasaan partai politik dalam membentuk pemerintahan melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sejak era reformasi, pembentukan pemerintahan menjadi kedaulatan rakyat melalui proses pemilihan presiden secara langsung.
Presiden merupakan mandataris rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat atas pelaksanaan visi misi yang ia jual kepada rakyat saat berkampanye.
Presiden tidak bisa dimakzulkan jika gagal melaksanakan janji-janji kampanyenya. Rakyat lah yang akan menentukan di akhir periode kepresidenannya, apakah ia layak untuk dipilih kembali atau tidak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.