SEBAGAI negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, ras, golongan, agama, dan kepercayaan, Indonesia harus memiliki landasan ideologi yang dapat menginklusi keberagaman.
Ideologi Pancasila dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (Unity in Diversity) yang memiliki makna “walaupun berbeda-beda pada hakikatnya Indonesia tetap satu” merupakan dua pondasi ideologis vital dalam konteks Indonesia yang multikultural.
Tidak hanya berfungsi sebagai ideologi saja, Pancasila juga merupakan falsafah dan pandangan hidup yang merekatkan segala perbedaan, serta memiliki fungsi sentral dalam berbagai aspek kehidupan seperti aspek pendidikan, sosial, dan ekonomi bangsa.
Pancasila pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai budaya masyarakat salah satunya dapat kita lihat dari lirik lagu daerah kebanggaan masyarakat Jawa Barat, “Manuk Dadali” yang merupakan simbol dari Pancasila yang mengajarkan kerukunan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Kita juga dapat melihat nilai-nilai yang diadopsi dari Pancasila melalui alat musik tradisional angklung yang melibatkan banyak pemain untuk menghasilkan harmoni musik yang indah dan selaras.
Filosofi angklung adalah kebersamaan, pemersatu, disiplin, dan saling menghormati sesama yang menghasilkan keharmonisan dan keindahan.
Oleh karena itu, basis dari Pancasila pada dasarnya dekat dengan nilai-nilai budaya yang sudah lebih dulu dipraktikan dan diamalkan masyarakat Indonesia.
Sebaga dasar negara, Pancasila telah dirumuskan melalui diskusi panjang dan hati-hati oleh para founding fathers Indonesia. Setelahnya, lahirlah kemudian perangkat-perangkat negara seperti undang-undang dasar, sistem ketatanegaraan, dan lain-lain.
Pasca kemerdekaan Indonesia hingga saat ini Pancasila telah teruji dan masih bertahan sebagai ideologi yang paling tepat untuk Indonesia.
Akan tetapi, perjalanan Pancasila sejak dilahirkan pada 1 Juni 1945 bukan berarti tanpa masalah.
Berbagai ideologi tandingan dan gerakan yang menentang Pancasila pernah dilakukan oleh berbagai oknum dan kelompok.
Tidak hanya berpotensi pada disintegrasi bangsa, ideologi-ideologi tersebut juga telah banyak memakan korban jiwa, seperti yang tercatat dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Sebut saja gerakan 30 September, DI TII, NII, GAM, Gerakan Papua Merdeka, Permesta, dan lain-lain.