Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Media dan Perdebatan Seksis yang Bias Gender

Kompas.com - 13/08/2019, 06:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM sebuah negara berkembang yang budayanya masih melanggengkan inferioritas perempuan, sudah terlalu banyak toleransi yang kita berikan pada orang yang gemar melontarkan pernyataan seksis.

Sebutlah contohnya, "Kamu kan perempuan, jangan sekolah tinggi-tinggi." Atau, ada juga pernyataan, "Laki-laki kok nangis."

Pernyataan seksis berlaku untuk perempuan atau laki-laki. Tujuannya untuk mempertegas adanya segregasi yang dikonstruksikan secara sosial.

Dengan iklim patriarki di Indonesia, sudah jelas yang banyak dirugikan adalah perempuan.

Namun, bukan itu yang perlu saya kupas habis kali ini karena topik-topik guyonan seksis ini sudah lama tidak muncul di permukaan.

Dalam perkembangannya, tidak semua media arus utama dan alternatif punya perspektif gender. Banyak yang masih berkiblat pada asas clickbait.

Meski edukasi mengenai kesetaraan gender dengan mudahnya kita dapat lewat media alternatif (social media atau media lokal), tetap saja guyonan seksis ini masih lestari secara laten.

Korban seringkali malas atau takut menanggapinya. Rasanya membuang waktu dan energi untuk menanggapi hal-hal seperti itu.

Ya, memang menguras energi, untuk berdebat atau sekadar menanggapi guyonan seksis yang bias gender.

Akan tetapi, jelas tidak semua orang-orang berpikir seperti itu. Ada yang punya waktu yang sangat luang, hingga bisa menulis sudut pandangnya dengan lebih leluasa. Apalagi, baik media arus utama atau alternatif kini menyediakan wadah khusus untuk pembacanya.

Hal itu biasanya diwujudkan dalam user generated content (UGC), jadi kontennya diisi oleh pembaca sendiri. Namun, dalam proses filternya tetap dilakukan oleh media yang bersangkutan.

Nah, dalam kasus pemberitaan tentang perdebatan seksis yang bias gender. Media yang mempunyai platform UGC adalah penentu.

Apakah media itu akan tetap memfilter konten karya user sesuai dengan kode etik dan ciri khas medianya sendiri, atau tetap meloloskan naskah-naskah dengan gaya seksis yang mengundang perdebatan nirfaedah?

Bila lebih condong pada pilihan kedua, apa yang dilakukan media tersebut tidak ada bedanya dengan pemberitaan dengan objektifikasi terhadap gender tertentu.

Dengan kata lain, apa yang dilakukan media sama saja dengan media medioker atau under average yang memuat berita berjudul "Perempuan Cantik Ini Menjabat sebagai Direktur" atau "Korban Pemerkosaan ini Ternyata Berwajah Rupawan".

Media-media seperti ini tidak pantas dijadikan rujukan suatu nilai yang seharusnya merepresentasikan kondisi masyarakat.

Di zaman media alternatif yang terus berkembang, kredibilitas memang bukan hanya milik media arus utama. Kredibilitas sudah menjadi bebas nilai.

Namun, kepercayaan masyarakat mudah tergerus saat mendapati media andalan mereka mendiskreditkan kelompok, khususnya kelompok rentan.

Salah satu alasannya, sekarang sudah bukan Orde Baru. Pembaca media daring banyak berasal dari milenial dan generasi Z.

Youth Lab, sebuah lembaga studi mengenai anak Muda Indonesia, melakukan penelitian di lima kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, dan Malang.

Hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa generasi milenial tumbuh menjadi individu-individu yang open minded, menjunjung tinggi kebebasan, kritis, dan berani (BPS: Profil Generasi Milenial Indonesia).

Bagaimana bila penulis atau editor media tersebut adalah milenial? Memang, tidak semua generasi milenial mampu menjangkau perspektif yang lebih luas sehingga terjebak dalam pola pikir biner yang terkotak antara hitam dan putih.

Apalagi bila media tersebut memfasilitasi debat warganet dengan oposisi biner. Hal itu adalah efek yang paling berisiko.

Pola pikir oposisi biner hanya melihat sesuatu dari sudut pandang benar atau salah. Misalnya, bila memperdebatkan perempuan, pemilik perspektif biner akan melihat peran perempuan terpisah menjadi subyek atau obyek saja.

Padahal, peran perempuan atau lelaki bisa terbagi dalam keduanya. Banyak faktor yang mempengaruhi pergantian peran.

Refleksinya adalah apakah memang harus dengan cara yang seperti itu cara media bekerja?

Melihat motif pemberitaan yang dilakukan dengan sengaja, prasangka seperti apa yang lebih cocok dialamatkan pada empunya media.

Apakah ingin secara eksplisit merespresentasikan nilai-nilai yang diperjuangkan? Adakah agenda tersembunyi yang membuat pengalihan isu?

Atau mungkin, hanya sebuah kecelakaan redaksi yang berasal dari agenda pribadi sang penulis atau editor?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com