Salah satu caranya yakni membuat format yang berbeda. Hal itu diawali kesuksesannya melempar lagu-lagu pop jawa di Jakarta, semisal "gethuk" yang dinyanyikan oleh Nur Afni Octavia, dan disusul kesuksesan Evie Tamala yang membawakan lagu pop jawa, di antaranya "kangen" pada 1992.
Hal itu merujuk pada pengakuan Mathous 2001 silam, masih pada jurnal yang sama.
Lalu, pada tahun 1993, Manthous membentuk kelompok atau grup musik campursari yang diberi nama Campursari Gunung Kidul atau CSGK.
Baca juga: Didi Kempot dan 5 Fakta Menarik Tentang Lagu-lagunya
Berbekal kesuksesannya melempar lagu pop Jawa tersebut, Manthous kembali ke daerah asalnya Playen, Gunungkidul dan mencoba menghidupkan lagi musik campursari.
Dengan biaya sendiri, Manthous pun berspekulasi dengan memboyong seluruh anggota grup campursarinya ke Jakarta untuk rekaman.
Kemudian album yang diberi judul Kanca Tani tersebut ditawarkan kepada rekannya di Semarang yang kebetulan memiliki saudara yang mengelola studio rekaman Pusaka Record.
Walaupun bersifat spekulatif, ternyata rekan Manthous menerima tawaran Manthous untuk menggandakan dan menjual ke pasar. Di luar dugaan, ternyata pasar menyambut positif dengan ditandai terjualnya album ini hingga ribuan kaset.
Nama Manthous semakin dikenal setelah keluarnya album kedua. Sebab, album tersebut laku sangat keras dan terjual 1 juta kaset.
Dari album tersebut, orang mengenal lagu “Nyidam Sari" dan musik campursari mulai digemari dan digandrungi masyarakat serta eksistensinya mulai diakui sebagai sebuah genre musik setara dengan genre musik yang lebih dulu eksis seperti pop, dangdut, rock, keroncong dan genre lainnya.
Setelah era R.M Samsi dan Manthous barulah muncul nama Didi Kempot. Namun, Lord Didi, begitu panggilan akrabnya di kalangan penggemarnya tersebut mengusung warna campursari yang berbeda.
Baca juga: Saat Presiden Jokowi Nikmati Lagu Sewu Kutho Milik Didi Kempot...
Campursari Didi Kempot tidak menggunakan musik gamelan Jawa seperti halnya campursari ala Manthous. Hal itu mengemuka dari Jurnal "Campursari Musik Etnis Jawa Populer antara Karya Manthus dan Didi Kempot" yang dibuat oleh Wadiyo, September 2002 silam.
Dari Jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Semarang tersebut mengambil sampel lagu campursari "Sewu Kutho" milik Didi Kempot untuk menggambarkan perbedaan campursari Manthous dan Didi Kempot.
“Mari bersama-sama mempertahankan dan melestarikan budaya kita, tidak hanya lagu, karena itu budaya kita,” ucap pelantun Sewu Kutho, Didi Kempot, Minggu (4/8/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.