Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER DI KOMPASIANA] Dilaporkan ke Polisi Karena Unggahan Medsos | Pertemuan Megawati-Prabowo | Menolak Gaji 8 Juta?

Kompas.com - 28/07/2019, 23:59 WIB
Harry Rhamdhani,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

KOMPASIANA - Seringkali pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik digunakan untuk membungkam kritik, hingga barter kasus hukum.

Pemidanaan yang dipakai biasanya menggunakan Pasal 27 ayat 3 memuat ancaman pidana penjara selama 6 tahun jika seseorang terbukti melakukan pencemaran nama baik.

Kompasianer Sutomo Paguci berpendapat, ada kecenderungan sebagian pengguna merasa bebas mengeluarkan ujaran kebencian di media sosial, hal yang justru tidak atau jarang dilakukannya bila berhadapan langsung di dunia nyata.

"Ujung-ujungnya kaget ketika dilaporkan ke polisi," lanjutnya.

Apalagi, dengan adanya ketentuan pidana penjara dari pasal tersebut selama di atas 5 tahun, tertuduh pencemar nama baik bisa ditahan selama 20 hari dalam proses penyidikan.

Untuk itulah Kompasianer Sutomo Paguci mengingatkan cara bertindak yang tepat andai unggahan di media sosial diancam akan (atau telah) dilaporkan orang lain pada aparat hukum.

Selain agar selalu mawas pada apapun yang kita unggah di media sosial, pada pekan ini Kompasiana juga diramaikan artikel-artikel pertemuan Ketua Umum PDI-P, Megawati dengan Prabowo Subianto hingga persoalan gaji 8 juta untuk fresh graduate yang ramai di media sosial.

Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:

1. Ini yang Harus Dilakukan Bila Postingan Medsos Dilaporkan ke Polisi

Secara hukum, tulis Kompasianer Sutomo Paguci, tindakan terlarang di dunia maya dan dunia nyata sebenarnya relatif sama.

"Apa yang terlarang di dunia nyata, misalnya memfitnah, menghina, ujaran kebencian rasis, dan lain sebagainya juga terlarang di dunia maya," lanjutnya.

Namun, yang terpenting dari itu adalah bagaimana menyikapinya andai unggahan kita di media sosial diancam akan diperkarakan ke pihak berwajib?

Berdasar pengalaman Kompasianer Sutomo Paguci mengadvokasi hal itu, paling tidak ada 2 hal yang mesti dipersiapkan. (Baca selengkapnya)

2. Tidak Mendengarkan Semua Opini adalah Cara Saya Mencintai Diri Sendiri

Pernahkah kita berpikir negatif pada diri sendiri? Banyak jenisnya, semisal, membandingkan diri dengan pencapaian orang lain hingga berpikir bahwa apapun yang kamu lakukan tidak akan membawa hasil seperti yang diharapkan.

Cara seperti itu, paling tidak, membuat kita membayangkan andai kata ucapan tersebut disampaikan orang lain kepada kita.

"Bagi saya, tidak ada salahnya kita mulai untuk menyeleksi ketat setiap komentar yang layak untuk kita beri perhatian," tulis Kompasianer Catherin.

Sebab, lanjutnya, kita sebenarnya sudah diberi kepekaan untuk "membaca" maksud dari orang lain saat memberi komentar atas diri kita. (Baca selengkapnya)

3. Kilas Balik "Hubungan Mesra" Megawati-Prabowo di Masa Lalu

Dalam pertemuan Prabowo dan Megawati kali ini, Kompasianer Gigih Prayitno berpendapat, hubungan erat antara keduanya sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Bahkan dulu pernah Prabowo menjadi pendamping Megawati dalam kontestasi pemilihan presiden.

"Ya, hubungan antara Megawati dan Prabowo mulai erat sejak Pemilu 2009, di mana Megawati dan Prabowo maju mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres," lanjutnya.

Setelah itu, hubungan erat antara Megawati dan Prabowo berlanjut pada Pilkada DKI 2012, ketika keduanya mengusung Joko Widodo dengan Basuki Tjahaja Purnama. Ketika itu PDI-P berkoalisi dengan Gerindra.

Namun, ketika hendak memasuki Pemilihan Presiden 2014, keduanya berpisah ketika akhirnya Joko Widodo ternyata yang dicalonkan Megawati untuk pemilahan kala itu. (Baca selengkapnya)

4. Salahkakh Berjalan di Eskalator?

Belakangan ini di dunia maya terjadi "keributan" pro dan kontra tentang jalur berjalan di eskalator yang dibuat oleh MRT Jakarta dan Commuter Line.

Peraturan tersebut, sebenarnya mencontoh sistem Metro (MRT/LRT) di negara lain.

"Aturan tersebut sudah lama menjadi budaya masyarakat urban sana untuk memberi jalan kepada penumpang yang terburu-buru agar mereka bisa memangkas waktu perjalanan dan transit," tulis Kompasianer Aulia Rahman.

Contoh sistem transportasi negara lain yang tertib, lanjutnya, menerapkan aturan tersebut adalah MRT Singapura, Tokyo Metro, dan London Tube.

Lantas mengapa ketika aturan tersebut diberlakukan di Indonesia justru menuai pro-kontra? (Baca selengkapnya)

5. Gaji 8 Juta Itu Relatif, tapi Masih Banyak Pekerja di Bawah UMR

Ketika membaca curahan hati yang viral mengenai penolakakan atas tawaran gaji 8 juta untuk mahasiswa yang baru lulus, Kompasianer Dewi Puspa jadi merasa sedih.

Gaji Rp 8 juta itu menurutnya besar meskipun banyak yang ekspektasinya di atas itu.

"Banyak yang sudah berpengalaman bekerja tidak beruntung mendapatkan nominal gaji sebesar itu. Angka segitu adalah sekitar dua kali lipat UMR di Jakarta. Sementara masih ada pekerja di Jakarta yang mendapat gaji di bawah UMR," lanjutnya.

Sebenarnya gaji 'fresh graduates' di perusahaan lokal Indonesia rata-rata berbeda dengan mereka yang bekerja di multinational company.

Kompasianer Dewi Puspa menjelaskan, bisa beda profesi, institusi, dan lokasi pekerjaan juga biasanya memiliki kisaran gaji yang berbeda antara satu dan lainnya. (Baca selengkapnya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Abaikan PDI-P, MPR: Tak Ada Alasan untuk Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Abaikan PDI-P, MPR: Tak Ada Alasan untuk Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Nasional
Pemerintah Tegaskan Tak Ragu Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

Pemerintah Tegaskan Tak Ragu Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Tangani ODGJ di Sumba Timur, Mensos Risma Minta Pemda dan Puskesmas Lakukan Ini

Tangani ODGJ di Sumba Timur, Mensos Risma Minta Pemda dan Puskesmas Lakukan Ini

Nasional
Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club', Jokowi Usul Pertemuannya Dua Hari Sekali

Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club", Jokowi Usul Pertemuannya Dua Hari Sekali

Nasional
Kelakar Hakim MK saat PKB Ributkan Selisih 1 Suara: Tambah Saja Kursinya...

Kelakar Hakim MK saat PKB Ributkan Selisih 1 Suara: Tambah Saja Kursinya...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com