JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi "Save Ibu Nuril" menagih janji DPR untuk melakukan eksaminasi atau pemeriksaan terhadap penolakan peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) yang diajukan pihak Baiq Nuril dalam kasus perekaman ilegal.
"Kita mendapatkan sinyal positif dari DPR untuk melakukan eksaminasi saat koalisi beraudiensi. Kami minta sinyal positif itu betul adanya," ujar peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Genoveva, dalam konfernsi persnya di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Jakarta Selatan, Jumat (5/7/2019).
Koalisi "Save Ibu Nuril" terdiri dari ICJR, LBH Pers, LBH Apik, Elsam, AJI Jakarta, Safenet, MaPPI, dan FH UI.
Baca juga: Anggota Komisi III Dukung Upaya Pengajuan Amnesti Baiq Nuril
Dalam kasus perekaman ilegal ini, Baiq Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Menurut Genoveva, DPR sedianya berani mendorong Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
"Waktu itu DPR menjanjikan bahwa akan membentuk tim evaluasi dan melakukan eksaminasi. Kami menagih janji DPR, jika ada kesalahan dalam putusan MA, DPR harus mendorong Presiden Jokowi berikan amnesti karena sekarang memang tidak ada jalan lain," ujar dia.
Anggota koalisi, Ade Wahyudin, mengatakan, pihaknya telah melakukan audiensi dengan DPR dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP).
Ia berharap, Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Nuril. Kasus ini bermula saat Baiq Nuril menerima telepon dari Kepsek M pada 2012.
Baca juga: Pengacara: Baiq Nuril Siap Jalankan Putusan Meski Kecewa
Dalam perbincangan itu, Kepsek M cerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Pada tahun 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram.
Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.
Akibatnya, MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
"Dalam perkara a quo, terdakwa atau pemohon PK merekam pembicaraan via HP antara korban dan terdakwa ketika korban menelepon terdakwa sekitar satu tahun yang lalu," tutur Juru Bicara MA Hakim Agung Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/7/2019).
"Dan hasil rekaman itu disimpan oleh terdakwa. Kemudian barang bukti hasil rekaman diserahkan kepada saksi Imam Mudawin, lalu saksi Imam Mudawi memindahkan ke laptopnya hingga tersebar luas," ucap dia.
Baca juga: Baiq Nuril Tak Ajukan Grasi, Berharap Amnesti Jokowi
Andi juga menegaskan, terdakwa yang menyerahkan ponsel miliknya kepada orang lain, kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen elektronik yang berisi pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan, tidak dapat dibenarkan.
Atas alasan itu, permohonan PK Baiq Nuril ditolak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.