JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah disepakati menjadi delik aduan.
Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat pembahasa RUU KUHP antara DPR dan pemerintah di Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019).
"Saya cukup senang misalnya perkembangan pasal penghinaan presiden itu menjadi delik aduan," ujar Erma.
Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 224 menyatakan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Baca juga: Pemerintah Usulkan Perubahan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP
Dengan menjadi delik aduan, artinya tidak setiap orang dapat mengadukan sebuah tindakan yang diduga penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.
Jika presiden dan wakil presiden merasa terhina atas ucapan pihak tertentu, maka hanya mereka lah yang dapat mengadukannya ke polisi.
"Kalau beliau (presiden-wakil presiden) merasa terhina, jadi beliau yang harus mengadukan langsung. Jangan orang yang merasa relawan-relawan ngadu karena merasa terhina. Presidennya saja enggak ngadu kan. Konsepnya delik aduan itu menurut saya bagus," kata Erma.
Sebelumnya, pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden sempat menjadi polemik. Kalangan masyarakat sipil menilai pasal tersebut berpotensi menjadi alat kriminalisasi dan membatasi kebebasan berpandapat.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Perkara Nomor Nomor 013-022/PUU-IV/2006, inkonstitusional.
Akan tetapi, tindak pidana penghinaan dalam RUU KUHP dimunculkan kembali dengan perubahan dari delik yang bersifat biasa, menjadi delik aduan untuk melindungi kepentingan pelindungan presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara.