Pemerintah Australia juga mendorong warga negaranya menggunakan hak pilihnya. Hak tersebut menjadi kewajiban jika dibutuhkan untuk membangun serta melanggengkan kebaikan bersama dalam masyarakat yang menganut sistem demokratis.
Pemerintah Australia mengutip Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 29. Perlu diketahui, pemerintah Negeri Kanguru menerapkan hukum wajib memilih disebabkan karena keterlibatan semua warga dalam pemilihan umum, dapat meningkatkan keterwakilan suara di semua lapisan masyarakat, terutama pada level kelas menengah dan bawah.
Bahkan, untuk mengikis kelompok warga yang enggan memilih, pemerintah Australia menerapkan denda sebanyak 20 dollar Australia atau sekitar Rp 200.000, kepada mereka yang tidak memberikan alasan mendetail kenapa tidak memilih.
Kebijakan ini berdampak pada meningkatnya keterlibatan warga Australia untuk menggunakan hak pilihnya. Pada 2016, jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilih termasuk terendah di dunia, yakni sekitar 1,4 juta orang atau 0,9 persen.
Dalam proses kontestasi politik 2019, penulis menghormati apa pun sikap politik dan kecenderungan ideologi setiap orang untuk mendukung figur idolanya. Ini berarti, apa pun sikap politik harus dihormati, sepanjang tidak mencipta kerusakan dan menerabas hak-hak konstitusional orang lain.
Namun, penulis merasa perlu menghadirkan konteks sosial ketika Gus Dur bersikap golput pada Pemilu 2004. Pilihan sikap politik Gus Dur ini sering menjadi tameng beberapa kelompok untuk mendasarkan pilihan politiknya.
Gus Dur memutuskan golput sebagai protes atas masifnya kecurangan, pemihakan, serta manipulasi yang dilakukan oleh KPU pada Pemilu 2004. Pada waktu itu, ada dua pasangan yang bertarung dalam pemilihan capres-cawapres, yaitu Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, serta pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla.
Menurut Gus Dur, pada proses Pilpres 2004, terdapat banyak kecurangan yang ironisnya dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Gus Dur mengungkapkan, KPU melanggar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif, serta dua pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden.
Selain itu, Gus Dur juga mengkritik diamnya Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membiarkan pelanggaran hukum terjadi, meski ada desakan dari beberapa pihak untuk meninjau kesalahan serta kecurangan penyelenggara pemilu.
Dengan demikian, Gus Dur bersikap golput bukan tanpa dasar, bukan tanpa tujuan. Beliau memperjuangkan hak-hak warga negara untuk kelangsungan masa depan demokrasi. Jelas, Gus Dur menggunakan kaidah-kaidah serta prinsip yang kuat untuk menentukan sikapnya.
Menurut Gus Dur, apa yang diperjuangkan pada momentum politik menjelang Pilpres 2004, merupayakan gerakan moral.
“..sebuah sikap moral yang merupakan hak penulis (Gus Dur) sebagai warga negara, menurut tata hukum yang berlaku. Kalaupun penulis ditangkap karena bersikap demikian, maka berarti memang keseluruhan sistem politik kita sudah menjadi busuk dan kediktatoran atas nama ‘kedaulatan hukum’ menjadi ciri kehidupan bangsa secara keseluruhan,” ungkap Gus Dur dalam esainya Mengapa Saya Golput, yang ditulis pada 10 September 2004.
Sebagai sebuah sikap moral di tengah turbulensi politik, Gus Dur ingin memberi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, yang saat itu sedang bergairah seusai reformasi 1998. Warga Indonesia sedang memasuki era kematangan reformasi, enam tahun setelah runtuhnya dinasti Orde Baru.
Namun, Gus Dur kecewa dengan kenyataan bahwa reformasi "telah dicuri orang", reformasi tidak sesuai dengan cita-cita asalnya. Dari perlawanan terhadap kesewenangan ini, Gus Dur ingin memberi pelajaran berharga, agar warga Indonesia menjadi warga yang memiliki sikap dan berpendirian teguh, bukan menjadi ‘bangsa lunak’—sebagaimana kritik yang disampaikan Gunnar Myrdal dalam karyanya Asian Drama: an inquiry into the poverty of nations (1968).
Jelas sekali, bahwa Gus Dur memiliki dasar untuk bersikap golput, yang jika ditelaah sangat berbeda dengan kondisi 2019. Pada momentum Pilpres 2004, Gus Dur ingin mengajak bangsa Indonesia untuk merawat demokrasi, dengan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penyelenggara pilpres serta cedera-cedera hukum yang melingkupinya.
Hal ini sangat berbeda dengan Pilpres 2019, yang medan kontestasinya lebih terbuka bagi setiap pihak untuk memanen aspirasi politik dari pendukungnya. Tabik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.