Salin Artikel

Golputnya Gus Dur dan Kontestasi Pilpres 2019

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 sudah di depan mata. Bangsa Indonesia akan menguji daya tahan serta proses panjang demokrasi, dalam sejarah dua dekade reformasi.

Pada 17 April 2019, bangsa Indonesia akan menentukan masa depannya, melanjutkan perjuangan untuk menjadi bangsa besar. 

Pemilu 2019 ini diwarnai dengan kegaduhan yang membengkak, serta serangan-serangan hoaks yang bertebaran di berbagai lini.

Bahkan, kontestasinya semakin menegang, yang ditandai dengan gelombang politik kecemasan. Drama-drama politik dipertontonkan untuk mendulang simpati, atau sebaliknya, menumpulkan prestasi.

Tren golput

Pada lingkaran kontestasi Pilpres 2019, perdebatan tentang golput juga semakin menghangat. Tren kenaikan golput terlihat dari pemilu-pemilu sebelumnya, yang juga menghantui Pilpres 2019.

Data Perludem (2015) menunjukkan jumlah warga yang golput naik dari 48,3 juta orang pada Pilpres 2009 ke 58,9 juta orang pada Pilpres 2014. Pada kontenstasi Pilpres 2019 ini, potensi golput disebut masih tinggi, diperkirakan pada kisaran angka 20 persen.

Laporan survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2019, jumlah pemilih yang menyatakan golput mencapai 1,1 persen. Angka ini, naik 0,2 persen dari hasil survei pada Oktober 2018, yakni sebesar 0,9 persen.

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengungkapkan bahwa potensi masyarakat yang golput sebanyak 20 persen.

Angka sebesar ini, didapat dari jumlah orang yang belum memutuskan pilihan (undecided voters) dan mereka yang sudah pasti tidak menggunakan hak pilih.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta politisi dari sejumlah partai politik berusaha mendorong warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.

Di medan kontestasi, terlihat betapa kubu petahana menggunakan upaya mengikis golput, sementara kubu oposisi berusaha menarik keuntungan dari gelombang golput. Pola kampanye dan serangan-serangan politik terlihat jika menganalisa pembelahan isu golput.

Pemerintah berusaha mendorong warga Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya, apa pun kecenderungan politiknya.

Fenomena golput juga terjadi di beberapa negara, dalam proses kontestasi politik. Di tengah turbulensi politik Inggris, misalnya, gelombang golput juga dianggap sebagai bagian yang menyumbang terjadinya sengkarut Brexit.

Sementara itu, di Amerika Serikat, sejumlah analis politik menyatakan masifnya warga yang tidak menggunakan hak pilih, menguntungkan Donald Trump.

Pemerintah Australia juga mendorong warga negaranya menggunakan hak pilihnya. Hak tersebut menjadi kewajiban jika dibutuhkan untuk membangun serta melanggengkan kebaikan bersama dalam masyarakat yang menganut sistem demokratis.

Pemerintah Australia mengutip Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 29. Perlu diketahui, pemerintah Negeri Kanguru menerapkan hukum wajib memilih disebabkan karena keterlibatan semua warga dalam pemilihan umum, dapat meningkatkan keterwakilan suara di semua lapisan masyarakat, terutama pada level kelas menengah dan bawah.

Bahkan, untuk mengikis kelompok warga yang enggan memilih, pemerintah Australia menerapkan denda sebanyak 20 dollar Australia atau sekitar Rp 200.000, kepada mereka yang tidak memberikan alasan mendetail kenapa tidak memilih.

Kebijakan ini berdampak pada meningkatnya keterlibatan warga Australia untuk menggunakan hak pilihnya. Pada 2016, jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilih termasuk terendah di dunia, yakni sekitar 1,4 juta orang atau 0,9 persen.

Menjernihkan golputnya Gus Dur

Dalam proses kontestasi politik 2019, penulis menghormati apa pun sikap politik dan kecenderungan ideologi setiap orang untuk mendukung figur idolanya. Ini berarti, apa pun sikap politik harus dihormati, sepanjang tidak mencipta kerusakan dan menerabas hak-hak konstitusional orang lain.

Namun, penulis merasa perlu menghadirkan konteks sosial ketika Gus Dur bersikap golput pada Pemilu 2004. Pilihan sikap politik Gus Dur ini sering menjadi tameng beberapa kelompok untuk mendasarkan pilihan politiknya. 

Gus Dur memutuskan golput sebagai protes atas masifnya kecurangan, pemihakan, serta manipulasi yang dilakukan oleh KPU pada Pemilu 2004. Pada waktu itu, ada dua pasangan yang bertarung dalam pemilihan capres-cawapres, yaitu Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, serta pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla.

Menurut Gus Dur, pada proses Pilpres 2004, terdapat banyak kecurangan yang ironisnya dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Gus Dur mengungkapkan, KPU melanggar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif, serta dua pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden.

Selain itu, Gus Dur juga mengkritik diamnya Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membiarkan pelanggaran hukum terjadi, meski ada desakan dari beberapa pihak untuk meninjau kesalahan serta kecurangan penyelenggara pemilu.

Dengan demikian, Gus Dur bersikap golput bukan tanpa dasar, bukan tanpa tujuan. Beliau memperjuangkan hak-hak warga negara untuk kelangsungan masa depan demokrasi. Jelas, Gus Dur menggunakan kaidah-kaidah serta prinsip yang kuat untuk menentukan sikapnya.

Menurut Gus Dur, apa yang diperjuangkan pada momentum politik menjelang Pilpres 2004, merupayakan gerakan moral.

“..sebuah sikap moral yang merupakan hak penulis (Gus Dur) sebagai warga negara, menurut tata hukum yang berlaku. Kalaupun penulis ditangkap karena bersikap demikian, maka berarti memang keseluruhan sistem politik kita sudah menjadi busuk dan kediktatoran atas nama ‘kedaulatan hukum’ menjadi ciri kehidupan bangsa secara keseluruhan,” ungkap Gus Dur dalam esainya Mengapa Saya Golput, yang ditulis pada 10 September 2004.

Sebagai sebuah sikap moral di tengah turbulensi politik, Gus Dur ingin memberi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, yang saat itu sedang bergairah seusai reformasi 1998. Warga Indonesia sedang memasuki era kematangan reformasi, enam tahun setelah runtuhnya dinasti Orde Baru.

Namun, Gus Dur kecewa dengan kenyataan bahwa reformasi "telah dicuri orang", reformasi tidak sesuai dengan cita-cita asalnya. Dari perlawanan terhadap kesewenangan ini, Gus Dur ingin memberi pelajaran berharga, agar warga Indonesia menjadi warga yang memiliki sikap dan berpendirian teguh, bukan menjadi ‘bangsa lunak’—sebagaimana kritik yang disampaikan Gunnar Myrdal dalam karyanya Asian Drama: an inquiry into the poverty of nations (1968).

Jelas sekali, bahwa Gus Dur memiliki dasar untuk bersikap golput, yang jika ditelaah sangat berbeda dengan kondisi 2019. Pada momentum Pilpres 2004, Gus Dur ingin mengajak bangsa Indonesia untuk merawat demokrasi, dengan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penyelenggara pilpres serta cedera-cedera hukum yang melingkupinya.

Hal ini sangat berbeda dengan Pilpres 2019, yang medan kontestasinya lebih terbuka bagi setiap pihak untuk memanen aspirasi politik dari pendukungnya. Tabik.

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/16/22542001/golputnya-gus-dur-dan-kontestasi-pilpres-2019

Terkini Lainnya

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’  ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Megawati Serahkan ‘Amicus Curiae’ ke MK, Anies: Menggambarkan Situasi Amat Serius

Nasional
Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Megawati Ajukan Amicus Curiae, Airlangga: Kita Tunggu Putusan MK

Nasional
Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Bupati Sidoarjo Tersangka Dugaan Korupsi, Muhaimin: Kita Bersedih, Jadi Pembelajaran

Nasional
Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Airlangga Sebut Koalisi Prabowo Akan Berdiskusi terkait PPP yang Siap Gabung

Nasional
Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Dikunjungi Cak Imin, Anies Mengaku Bahas Proses di MK

Nasional
AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

AMPI Resmi Deklarasi Dukung Airlangga Hartarto Jadi Ketum Golkar Lagi

Nasional
MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

MK Ungkap Baru Kali Ini Banyak Pihak Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

Nasional
Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Bappilu PPP Sudah Dibubarkan, Nasib Sandiaga Ditentukan lewat Muktamar

Nasional
Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Yusril Anggap Barang Bukti Beras Prabowo-Gibran di Sidang MK Tak Buktikan Apa-apa

Nasional
Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Panglima TNI Tegaskan Operasi Teritorial Tetap Dilakukan di Papua

Nasional
TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya

Nasional
Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Tetap Beri Angka Nol untuk Perolehan Suara Prabowo-Gibran

Nasional
Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Soal Bantuan Presiden, Kubu Ganjar-Mahfud: Kalau Itu Transparan, kenapa Tak Diumumkan dari Dulu?

Nasional
Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Minta MK Kabulkan Sengketa Hasil Pilpres, Kubu Anies: Kita Tidak Rela Pemimpin yang Terpilih Curang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke