USAI debat presidensial kedua pada 17 Februari 2019 lalu, sejumlah isu mencuat dan meramaikan pemberitaan media dan lini masa media sosial. Isu tersebut antara lain penguasaan lahan ratusan ribu hektar oleh capres Prabowo Subianto di Aceh dan Kalimantan Timur.
Isu lainnya soal akurasi data yang dikemukakan oleh Capres Joko Widodo dalam debat, seperti data impor jagung, kebakaran hutan, dan sengketa lahan.
Persoalan “unicorn” juga tak kalah ramai dibahas dan menjadi bahan saling serang dan sindir antarkedua tim sukses dan pendukung.
Isu-isu ini seakan menenggelamkan substansi dari debat itu sendiri. Meski lebih greget dibandingkan debat pertama, debat kedua yang bertemakan energi, pangan, infrastruktur, lingkungan hidup, dan sumber daya alam dinilai masih kurang dalam memaparkan program-program yang lebih konkret dan terukur atas berbagai persoalan di kelima bidang strategis tersebut.
Isu Prabowo kuasai lahan muncul setelah Jokowi menyinggung kepemilikan Prabowo atas lahan seluas 220 ribu hektare di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektare di Aceh. Ini disebut Jokowi saat menjawab kritikan Prabowo terhadap program reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.
Dalam pernyataan penutup debat, Prabowo mengakui penguasaannya atas lahan-lahan tersebut berdasarkan hak guna usaha (HGU). Ia mengatakan siap mengembalikannya kepada negara. Menurutnya, lahan-lahan tersebut lebih baik ia kelola dari pada jatuh ke tangan asing.
Terlepas dari isu kepemilikan lahan Prabowo, jawaban atas persoalan reforma agraria sendiri tidak banyak terkupas dalam debat tersebut.
Program talk show Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu 20 Februari 2019, akan menggali masalah reforma agraria Jokowi termasuk isu penguasaan lahan Prabowo dan konsep capres nomor urut 02 tersebut terhadap program reforma agraria.
Isu lainnya yang turut digali dalam program bincang yang dipandu oleh jurnalis senior Kompas Budiman Tanuredjo ini adalah grasa-grusu pembangunan infrastruktur yang disinggung oleh Prabowo dalam debat.
Reforma agraria bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan guna mengembalikan lahan sebagai alat produksi pertanian, yang akan berdampak pada peningkatan produktivitas pertanian dan taraf hidup petani.
Restrukturisasi kepemilikan lahan tersebut dilakukan melalui redistribusi lahan, antara lain lahan yang berasal dari HGU (Hak Guna Usaha), kepada para petani.
Pelaksanaan reforma agraria yang sejatinya merupakan amanat UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 sempat terhenti pascapemerintahan Presiden Soekarno.
Di awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menjadikan ferorma agraria sebagai salah satu agenda prioritas melalui Nawacita dengan berkomitmen memberikan 9 juta hektare melalui distribusi lahan dan sekitar 12,7 juta hektare melalui program hutan kelola rakyat lewat perhutanan sosial hingga 2019.
Namun, dalam pelaksanaannya, program reforma agraria pemerintahan Jokowi menuai kritik. Mulai dari pelaksanaannya yang tersendat, tidak tepat sasaran, gagal mengatasi konflik lahan, hingga dinilai tak mampu mencapai target distribusi lahan pada 2019 seperti yang ditetapkan dalam Nawacita.
Selain itu, bagi-bagi sertifikat tanah yang selalu digadang oleh Presiden Jokowi sejatinya bukanlah bagian dari reforma agraria. Program ini hanyalah sertifikasi rutin Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terhadap lahan-lahan yang dimiliki masyarakat.