Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Anggap Tuntutan 8 Tahun Penjara Eni Maulani Bentuk Apresiasi Atas Sikap Kooperatif

Kompas.com - 06/02/2019, 21:45 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, tuntutan jaksa KPK terhadap terdakwa mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sudah proporsional. Eni dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa KPK.

Menurut Febri, tuntutan tersebut merupakan apresiasi atas sikap kooperatif Eni selama ini. Sikap kooperatif itu berupa pengembalian uang yang pernah diterima dan memberikan keterangan secara jujur dalam penyidikan dan persidangan.

"Tuntutan yang lebih ringan ini sebagai bentuk penghargaan terhadap sikap kooperatif yang dilakukan," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Baca juga: Eni Maulani Kecewa Permohonan Justice Collaborator Ditolak KPK

"Kalau dilihat pasal yang dikenakan terhadap Eni Saragih itu ancaman pidananya seumur hidup atau maksimal 20 tahun. Nah ketika dituntut 8 tahun itu artinya kurang dari setengah tuntutan maksimal," sambung Febri.

Febri mengakui bahwa permohonan justice collaborator (JC) Eni ditolak oleh jaksa KPK. Menurut dia, salah satu syarat diterimanya pengajuan JC adalah yang bersangkutan bukan pelaku utama.

"Dan itu tidak terpenuhi menurut KPK. Kita belum tahu nanti hakim bagaimana pendapatnya, hakim tentu punya kewenangan juga untuk menilai hal tersebut, maka tentu saja kami tidak bisa mengabulkan JC itu," ungkapnya.

Baca juga: Eni Maulani Tak Menyangka Dituntut 8 Tahun Penjara

Namun, ia mengingatkan pelaku utama tak hanya sekadar satu orang saja, melainkan juga bisa melibatkan beberapa orang yang sama-sama memiliki peran signifikan dalam sebuah kasus korupsi.

"Jadi jika ditemukan bukti yang cukup, kami bisa mengatakan Eni bukan orang terakhir yang diproses dalam kasus ini. Karena kami juga masih mengembangkan terhadap pelaku lain," ujarnya.

Eni Maulani yang merupakan anggota Fraksi Partai Golkar tersebut dinilai jaksa terbukti menerima suap Rp 4,750 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.

Baca juga: Jaksa KPK Tuntut Pencabutan Hak Politik Eni Maulani Saragih

Menurut jaksa, uang tersebut diberikan dengan maksud agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Selain itu, jaksa juga menilai Eni terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura. Sebagian besar uang tersebut diberikan oleh pengusaha di bidang minyak dan gas.

Eni dituntut 8 tahun penjara dan membayar denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Eni juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 10,3 miliar dan 40.000 dollar Singapura.

Kompas TV Terdakwa kasus suap proyek PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih dituntut 8 tahun penjara. Jaksa juga menuntut Eni membayar denda Rp 300 juta subsider 4 bulan penjara. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta jaksa menilai Eni terbukti menerima suap Rp 4,70 lima miliar dari pengusaha Johannes Kotjo. Suap itu diduga terkait kesepakatan kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1. Selain itu jaksa juga meminta hakim mencabut hak politik Eni Saragih selama lima tahun dan menolak permintaan sebagai <em>justice collaborator</em>.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Nasional
Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Nasional
Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Nasional
Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com