Tapi lihatlah, bukankah seorang Tri Rismaharini (Risma) dan jajarannya di Pemerintah Kota Surabaya sudah melakukannya dengan lebih heroik?
Dengan banyaknya keterbatasan, Risma telah menaikkan level tanggung jawabnya dari sekadar seorang leader dalam arti generik menjadi seorang kapten dengan misi khusus!
Dengan pertimbangan yang sangat bijak, Risma dan jajarannya--persis seperti yang dilakukan Wali Kota Soichiro Takashima di Fukuoka--langsung mencari dan mengimplementasikan solusinya. Ini adalah kecakapan langka dalam membedakan mana urgency dan mana importance.
Tanpa melihat siapa dulu yang patut disalahkan, dengan penuh tanggung jawab Risma berani memutuskan "biaya akan ditalangi Pemkot Surabaya dahulu" saat hal-hal seperti itu berisiko bersinggungan dengan prinsip-prinsip good governance.
Syukurlah masalah talangan itu terselesaikan dengan komitmen pihak yang bertanggung jawab atas amblesnya Jalan Gubeng.
Barangkali bagi seorang Risma, risiko lebih besar akan dihadapi warga Surabaya di sekitar Jalan Gubeng itu bila lubang sebesar gedung tak segera ditutup.
Proses investigasi dimulai setelah proses recovery fisik Jalan Gubeng selesai. Inilah yang menjadikan Risma seorang kapten, tak hanya seorang leader biasa.
Risma, seperti halnya Soichiro Takashima, memenuhi kualifikasi untuk disebut kapten-kapten yang sangat siap untuk menghadapi permasalahan apa pun, bahkan--meminjam istilah bisnis--mereka siap menghadapi dan mengatasi disrupsi apapun melalui tampuk kepemimpinan kota.
Risma dan Takashima tak sendirian menyandang pujian itu. Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe adalah contoh kapten dalam level lebih tinggi. Ini masih ada kaitannya dengan Kota Fukuoka yang dipimpin Soichiro Takashima.
Pada tahun 2014, dua tahun sebelum kejadian sinkhole di Fukuoka, Shinzo Abe mengumumkan pendirian zona ekonomi khusus di seluruh wilayah Jepang.
Fukuoka ditugaskan untuk menarik investor di bidang startups dan disiapkan menjadi technology-hub Asia. Tugas tak mudah bagi Wali Kota Fukuoka Soichiro Takashima.
Dibandingkan Tokyo, Osaka, atau Kyoto, yang seperti manisnya madu mengundang puluhan juta "lebah" wisatawan dan pebisnis, Fukuoka hanyalah kota biasa berpenduduk satu setengah juta jiwa.
Kekuatannya ada di industri wisata dan pendidikan, terutama terkait dengan teknologi informasi. Mungkin sedikit mirip dengan Yogyakarta atau Bandung. Tugas membangun technology-hub jelas butuh perjuangan tersendiri.
Soichiro berhasil menerjemahkan kebijakan "Anak Panah Ketiga" atau Third Arrow, dalam program Abenomics yang menekankan pada deregulasi, yang juga melapangkan jalan bagi perusahaan-perusahaan ventura di Fukuoka merekrut talenta-talenta digital dari seluruh dunia seperti Silicon Valley.
Kasus sinkhole Fukuoka tahun 2016 jelas tidak bagus untuk image Fukuoka sebagai tech-hub. Tak heran, recovery yang dipimpin Takashima berjalan sangat cepat.
Surabaya dengan Risma-nya tak berbeda jauh. Visi untuk menjadikan Surabaya sebagai pusat penghubung perdagangan dan jasa antar pulau dan internasional, serta mewujudkan infrastruktur serta utilitas kota yang terpadu dan efisien tak boleh diganggu hal-hal seperti lambannya proses recovery Jalan Gubeng.
Ada nyali untuk mengambil keputusan sulit di saat-saat kritis, dan ada keberanian untuk tetap rendah hati serta menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat yang menggaji mereka dengan uang pungutan pajak.
Hari ini Kota Fukuoka benar-benar telah mewujudkan misinya menjadi salah satu tech-hub Asia yang diperhitungkan di samping Bangalore, Hyderabad, Senzhen, Hanzou. Surabaya? Oh, tak kalah hebat!
Surabaya telah mendapatkan penghargaan internasional Global Green City dari PBB, penghargaan Learning City dari Unesco, ASEAN Tourism Award 2018 dan tak kalah prestisiusnya, Lew Kwan Yew World City Prize 2018 Special Mention.
Penghargaan yang sangat lengkap: soal lingkungan, pendidikan, pariwisata, dan kota yang menjadi kota global populer!
Hanya seorang kapten yang bisa melakukannya. Dan, bangsa kita perlu lebih banyak lagi kapten-kapten seperti ini.
Tak perlu menunggu tahun 2050 bagi Indonesia untuk disegani sebagai salah satu ekonomi raksasa. Dengan kemunculan lebih banyak kapten seperti Risma, bagaimana kalau kita mewujudkannya di tahun ini?
Cool Village memang berkisah tentang orang-orang hebat di sebuah desa kecil yang keren bernama Indonesia.
Tak ada hal lain yang dipertukarkan warga masyarakat desa keren itu selain optimisme, rasa saling terhubung, dan anak-anak mudanya yang tak takut menghadapi masa depan.
Dan, benarlah apa kata Dalai Lama XIV, "Choose to be optimistic. It feels better." Oh, yes!