Sebagai contoh, hasil riset Surabaya Survey Center (SSC)—mitra FFH—pada Juni 2017 mendapati, pemilih yang mengetahui atau mendengar adanya hajatan demokrasi lokal Pilgub Jawa Timur 2018 baru sebesar 46 persen. Selebihnya tidak mengetahui adanya kontestasi itu.
Baca juga: Kejar Target Partisipasi Pemilih, KPU Jakbar Bentuk Relawan Demokrasi
Lalu, survei yang sama pada periode Desember 2017 menemukan, pemilih yang mengetahui atau mendengar adanya pilgub Jawa Timur juga tidak beranjak banyak, masih di bawah 50 persen.
Angka-angka itu semakin kecil ketika pemilih yang menjawab mengetahui atau mendengar adanya pilgub Jawa Timur kembali ditanyai waktu tepat pelaksanaan pilgub Jawa Timur. Bisa ditebak, pemilih yang tepat menjawab tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan pilgub Jawa Timur makin sedikit.
Bahkan, bisa saja, penyelenggara pemilu serta pemangku kebijakan soal pelaksanaan pemilu tidak semuanya hafal waktu tepatnya pelaksanaan pilgub Jawa Timur. Karena itu, tidak mengherankan, usai pelaksanaan Pilgub Jawa Timur 2018, diketahui tingkat partisipasi hanya 66,92 persen.
Hal ini serupa juga terjadi di segmentasi pemilih muda, dalam hal ini mahasiswa. Umumnya, para mahasiswa tahu akan adanya hajataan besar pada 2019, yakni pelaksanaan pemilu. Angkanya, di atas 92 persen. Namun, angka tersebut turun signifikan apabila mahasiswa ditanya tanggal tepatnya pelaksanaan pemilu (lihat grafis di bawah ini).
Rendahnya angka tingkat pengetahuan pemilih disebabkan beragam faktor. Pada umumnya lebih banyak disebabkan pemilihan sosialisasi yang tidak tepat, seperti medium yang dipakai.
Sebagai contoh, soal pemasangan iklan sosialisasi berdasarkan pilihan media massa. Preferensi pemilih terhadap media massa di setiap kabupaten-kota di Jawa Timur tentu beragam. Ada yang suka media massa A, atau B, atau C.
Kemudian, teknik komunikasi yang dipilih tidak sesuai berdasarkan segmentasi pemilih. Sebagai contoh, gaya bahasa penyampaian soal kepemiluan untuk masyarakat profil pekerjaan PNS dengan petani atau nelayan tentu saja berbeda.
Ditambah lagi, dengan adanya terminologi pemilih pemula atau saat ini akrab dikenali sebagai "pemilih jaman now", tentunya bahasa yang disampaikan semestinya berbeda.
Melaksanakan pesta rakyat—pemilu—butuh biaya besar. Cakupannya mulai dari pembiayaan penyelenggara pemilu, alat peraga peserta pemilu, perangkat pendukung seperti kotak suara dan lainnya, hingga urusan ketertiban dan keamanan pada saat pelaksanaan coblosan.
Dari mana biaya itu berasal? Jawabannya, tentu saja pajak.
Pajak berasal dari bahasa latin, taxio; rate. Artinya, iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang. Karenanya, pajak dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung.
Menurut Charles E McLure, pajak adalah kewajiban finansial atau retribusi yang dikenakan terhadap wajib pajak (pribadi atau badan) oleh negara atau institusi yang fungsinya setara dengan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembayaran pajak merupakan perwujudan kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk ikut secara langsung dan bersama-sama melaksanakan pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Baca juga: Pajak Tak Capai Target, Sri Mulyani Harap Dunia Usaha Lebih Patuh