Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Staf Ahli Eni Maulani Mengaku Terima Uang Sebanyak 4 Kali dari Sekretaris Johannes Kotjo

Kompas.com - 26/12/2018, 14:36 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf ahli Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Tahta Maharaya, mengaku pernah menerima uang dalam empat kali pertemuan dengan Sekretaris Johannes Budisutrisno Kotjo, Audrey Ratna Justianty.

Johannes merupakan salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.

Johannes Kotjo ikut terjerat dalam kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau.

Tahta mengaku tidak mengenal Johannes secara langsung.

Ia menyebutkan, pertama kali bertemu dengan Ratna sekitar Desember 2017 di Gedung Graha BIP di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Baca juga: Cerita Staf Ahli Eni Maulani Terima Tas Buah Satu Kuintal dari Staf Samin Tan

"(Pertemuan pertama) 2017 akhir, itu tidak tahu namanya. Tahu namanya ketika penyidikan saja. Awalnya diminta Bu Eni untuk ketemu sekretaris Pak Kotjo di Graha BIP lantai 8. Ditugaskan untuk ketemu sajalah dengan Beliau (Ratna)," kata Tahta saat bersaksi untuk terdakwa Eni, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/12/2018).

Saat bertemu, Tahta mengaku menerima amplop berwarna putih dari Ratna. Akan tetapi, ketika itu, ia tak mengetahui isi amplop tersebut. Ia hanya sebatas menandatangani tanda terima yang diajukan Ratna.

"Saat ini saya sudah tahu karena ditunjukkan barang buktinya oleh penyidik (Komisi Pemberantasan Korupsi). Itu tanda tangan terima, (isi amplop) berupa cek nominalnya Rp 2 miliar," ujar dia.

Malam harinya, ia menyerahkan amplop tersebut kepada Eni di rumah anggota DPR tersebut. Eni, kata Tahta, hanya menanyakan apa yang disampaikan Ratna kepada Tahta.

"Ibu cuma menanyakan dari sekretaris Pak Kotjo tadi apa? Ini Bu ada amplop, saya kasih. Udah itu aja," ujarnya.

Baca juga: Sekretaris Kotjo Akui 4 Kali Diperintah Berikan Uang kepada Eni Maulani

Tahta pun kembali diperintahkan Eni bertemu dengan Ratna sekitar Maret 2018. Saat bertemu, Tahta diberikan dua kantong plastik hitam dari Ratna. Ia pun tak mengetahui isi dari plastik tersebut.

"Saya tidak tahu, Pak. Lumayan besar lah, Pak, yang jelas cukup besar (ukuran plastiknya)," ujar dia.

Jaksa KPK bertanya kepadaTahta, apakah dirinya sempat mengira isi kantong tersebut merupakan uang.

"Kalau berpikiran (isinya uang), iya, uang. Saya ngerasa pas angkat (kantong plastik) itu," kata Tahta.

Ia baru mengetahui dua kantong plastik itu ternyata berisi uang sekitar Rp 2 miliar saat proses penyidikan di KPK.

"(Kantong plastik itu) saya serahkan ke Bu Eni hari itu juga di rumahnya Ibu (Eni). (Eni) Cuma bilang ya udah taruh situ aja," kata Tahta.

Baca juga: Eni Maulani Didakwa Terima Gratifikasi Rp 5,6 M dan 40.000 Dollar Singapura dari Bos Perusahaan Migas

Tahta kembali diinstruksikan menemui Ratna sekitar Juni 2018. Saat itu, ia diberikan sebuah tas kertas (paper bag) berwarna coklat. Tahta juga tak mengetahui isi tas tersebut. Ia kembali menandatangani tanda terima.

"Kalau itu saya enggak tahu. Yang saya tahu yang (dari kedua) itu. Sudah dibungkus rapi saya hanya menyerahkan, malamnya," ujar Tahta.

"Saya tahu jumlahnya Rp 250 (juta) diperlihatkan di penyidikan," lanjutnya.

Selanjutnya, Tahta diperintahkan Eni bertemu dengan Ratna sekitar bulan Juli 2018. Ratna menyerahkan sejumlah amplop kepada Tahta.

"Dia menyampaikan cuma menyebut isi amplop itu 100, 200, 200," kata dia.

"Totalnya?" tanya jaksa KPK.

"Rp 500 (juta), Pak," jawab Tahta kepada jaksa KPK.

Baca juga: Eni Maulani Didakwa Terima Suap Rp 4,7 Miliar Terkait Proyek PLTU Riau 1

Tahta hanya sekadar mengangguk dan membawa amplop dalam kantong plastik itu ke parkiran untuk diserahkan ke Eni.

"Saya bawa ke parkiran, saya (terjaring) penangkapan OTT (operasi tangkap tangan KPK) di parkiran," kata dia.

"Jadi belum sempat diserahkan (ke Eni)?" tanya jaksa KPK.

"Belum," ungkapnya.

Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap Rp 4,7 miliar. Suap tersebut diduga diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.

Hal itu disampaikan jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/11/2018).

Menurut jaksa, uang tersebut diberikan dengan maksud agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com