Johannes merupakan salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.
Johannes Kotjo ikut terjerat dalam kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau.
Tahta mengaku tidak mengenal Johannes secara langsung.
Ia menyebutkan, pertama kali bertemu dengan Ratna sekitar Desember 2017 di Gedung Graha BIP di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
"(Pertemuan pertama) 2017 akhir, itu tidak tahu namanya. Tahu namanya ketika penyidikan saja. Awalnya diminta Bu Eni untuk ketemu sekretaris Pak Kotjo di Graha BIP lantai 8. Ditugaskan untuk ketemu sajalah dengan Beliau (Ratna)," kata Tahta saat bersaksi untuk terdakwa Eni, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/12/2018).
Saat bertemu, Tahta mengaku menerima amplop berwarna putih dari Ratna. Akan tetapi, ketika itu, ia tak mengetahui isi amplop tersebut. Ia hanya sebatas menandatangani tanda terima yang diajukan Ratna.
"Saat ini saya sudah tahu karena ditunjukkan barang buktinya oleh penyidik (Komisi Pemberantasan Korupsi). Itu tanda tangan terima, (isi amplop) berupa cek nominalnya Rp 2 miliar," ujar dia.
Malam harinya, ia menyerahkan amplop tersebut kepada Eni di rumah anggota DPR tersebut. Eni, kata Tahta, hanya menanyakan apa yang disampaikan Ratna kepada Tahta.
"Ibu cuma menanyakan dari sekretaris Pak Kotjo tadi apa? Ini Bu ada amplop, saya kasih. Udah itu aja," ujarnya.
Tahta pun kembali diperintahkan Eni bertemu dengan Ratna sekitar Maret 2018. Saat bertemu, Tahta diberikan dua kantong plastik hitam dari Ratna. Ia pun tak mengetahui isi dari plastik tersebut.
"Saya tidak tahu, Pak. Lumayan besar lah, Pak, yang jelas cukup besar (ukuran plastiknya)," ujar dia.
Jaksa KPK bertanya kepadaTahta, apakah dirinya sempat mengira isi kantong tersebut merupakan uang.
"Kalau berpikiran (isinya uang), iya, uang. Saya ngerasa pas angkat (kantong plastik) itu," kata Tahta.
Ia baru mengetahui dua kantong plastik itu ternyata berisi uang sekitar Rp 2 miliar saat proses penyidikan di KPK.
"(Kantong plastik itu) saya serahkan ke Bu Eni hari itu juga di rumahnya Ibu (Eni). (Eni) Cuma bilang ya udah taruh situ aja," kata Tahta.
Tahta kembali diinstruksikan menemui Ratna sekitar Juni 2018. Saat itu, ia diberikan sebuah tas kertas (paper bag) berwarna coklat. Tahta juga tak mengetahui isi tas tersebut. Ia kembali menandatangani tanda terima.
"Kalau itu saya enggak tahu. Yang saya tahu yang (dari kedua) itu. Sudah dibungkus rapi saya hanya menyerahkan, malamnya," ujar Tahta.
"Saya tahu jumlahnya Rp 250 (juta) diperlihatkan di penyidikan," lanjutnya.
Selanjutnya, Tahta diperintahkan Eni bertemu dengan Ratna sekitar bulan Juli 2018. Ratna menyerahkan sejumlah amplop kepada Tahta.
"Dia menyampaikan cuma menyebut isi amplop itu 100, 200, 200," kata dia.
"Totalnya?" tanya jaksa KPK.
"Rp 500 (juta), Pak," jawab Tahta kepada jaksa KPK.
Tahta hanya sekadar mengangguk dan membawa amplop dalam kantong plastik itu ke parkiran untuk diserahkan ke Eni.
"Saya bawa ke parkiran, saya (terjaring) penangkapan OTT (operasi tangkap tangan KPK) di parkiran," kata dia.
"Jadi belum sempat diserahkan (ke Eni)?" tanya jaksa KPK.
"Belum," ungkapnya.
Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap Rp 4,7 miliar. Suap tersebut diduga diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.
Hal itu disampaikan jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Menurut jaksa, uang tersebut diberikan dengan maksud agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/26/14362901/staf-ahli-eni-maulani-mengaku-terima-uang-sebanyak-4-kali-dari-sekretaris