Agus mengatakan, kereta api secara teknis mempunyai massa yang berat dengan roda menempel pada rel baja. Dengan demikian, kereta api tidak dapat berhenti segera dan tidak dapat dibelokkan oleh masinis.
"Apabila ada halangan di depan KA, praktis yang dilakukan oleh masinis hanya melakukan pengereman, di mana sistem pengeraman terjadi pada roda-roda sepanjang rangkaian KA," ujar dia.
Panjangnya rangkaian dan berat kereta api tersebut menentukan jarak yang diperlukan untuk berhenti.
"Rem yang dibuat untuk rangkaian KA tentu tidak dapat pakem karena teknis KA tersebut," ujarnya.
Ia menegaskan, pintu pelintasan sejatinya dibuat untuk melindungi kereta api, karena karakteristik kereta api sebagaimana yang dimaksud di atas.
Baca juga: Alarm Perlintasan Mati saat KA Sritanjung Tabrak Pajero di Surabaya
Agus menuturkan, sesuai Undang-Undang Perkeretaapiaan, perpotongan antara jalur KA dan jalan raya idealnya dibuat tidak sebidang.
"Pelintasan sebidang memungkinkan ada, jika hanya area tersebut merupakan jalur dengan frekuensi perjalanan KA rendah dan arus lalu lintas jalan rayanya pun tidak padat," tutur dia.
Namun, lanjut Agus, apabila pelintasan sebidang ini merupakan jalur dengan frekuensi perjalanan KA tinggi dan padat lalu lintas jalan raya, maka seharusnya dibuat tidak sebidang.
"Bisa flyover maupun underpass," ujar dia.
Agus menyampaikan, pembangunan prasarana perkeretaapiaan merupakan wewenang dari penyelenggara prasarana perkeretaapian, dalam hal ini adalah pemerintah.
Ia menjelaskan, pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemerintah yang bertanggung jawab atas pelintasan sebidang.
"Pasal 79 menyebutkan bahwa menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya melakukan evaluasi secara berkala terhadap perpotongan sebidang," kata Agus.
Apabila berdasar hasil evaluasi tersebut terdapat perpotongan yang seyogyanya harus ditutup, maka pemerintah sebagaimana disebut di atas dapat melakukan penutupan.