KOMPAS.com - Banyak cerita dari momen pembacaan naskah teks proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Selain upacara yang berlangsung di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, ternyata ada "upacara cadangan" yang dipersiapkan di Asrama Prapatan 10.
Bagaimana ceritanya?
Desakan kepada para pemimpin mencuat setelah para tokoh golongan muda mendengar kekalahan Jepang dari Sekutu.
Para pemuda itu tersebar di beberapa asrama yaitu Asrama Pemuda Badan Permusyawaratan Pemuda Indonesia di Cikini Raya, Asrama Mahasiswa Kedokteran di Prapatan 10, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, dan Asrama Indonesio Merdeka di Kebon Sirih.
Di setiap asrama itu, ada pemimpin asrama dan tokoh yang mengarahkan pergerakan.
Di Cikini 71 ada Johar dan Darwis, Prapatan 10 ada Eri Sudewo, Subadio Sastrosatomo, Subianto Djojohadikusumo, dan Grup Pemuda Sjahrir.
Menteng 31 memiliki Sukarni, Chaerul Saleh, Aidit, dan AM Hanafi. Sementara, di Kebon Sirih ada Wikana dan Yusuf Kunto.
Beberapa perwakilan pemuda dan mahasiswa tergerak untuk mengadakan upacara proklamasi di Prapatan 10.
Prapatan 10 merupakan lokasi asrama pemuda dan mahasiswa yang berasal dari Sekolah Tinggi kedokteran (Ika Daigaku) dan Sekolah Perobatan (Yaku Gaku).
Para pemuda dan mahasiswa kedokteran ditempatkan di sebuah asrama. Tidak mengherankan jika mahasiswa bisa menggerakkan dan mempelopori semangat juang kala itu.
Sekarang, asrama itu berubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI)
Upacara proklamasi di dua tempat
Dini hari, menjelang subuh, 17 Agustus 1945, Chairul Saleh datang ke Prapatan 10 menunjukkan naskah proklamasi yang akan dibacakan pada pukul 10 pagi di Lapangan Ikada.
Namun, karena ada kekhawatiran upacara di Lapangan Ikada akan menimbulkan bentrok, pasukan Jepang terus berpatroli serta melakukan penjagaan di Lapangan Ikada. Upacara akhirnya dipindahkan ke Rumah Soekarno.