JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak 1979, pemerintah memberlakukan sepenuhnya perjalanan jemaah haji menuju Tanah Suci melalui jalur udara.
Saat itu, pemerintah telah membekukan PT Arafat sebagai penyedia jasa perjalanan haji melalui jalur laut.
Alasan beralihnya perjalanan haji dari laut ke udara karena biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan laut lebih mahal daripada udara. Padahal, waktu tempuh menggunakan kapal laut jauh lebih lama.
Perjalanan haji via laut bisa memakan waktu hampir satu bulan, sementara melalui udara hanya sekitar 9 jam.
Harian Kompas, 18 April 1975, memberitakan, ongkos naik haji (ONH) via udara Rp 690.000 sedangkan ONH kapal laut Rp 795.000.
Ketetapan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden No.12/75 oleh Dirjen Urusan Haji Burhani kepada para calon haji yang mendaftarkan dirinya ke lembaga terkait.
Bagi calon haji yang ingin menggunakan kapal laut, setoran awalnya adalah Rp 75.000. Sementara, bagi jemaah calon haji yang menggunakan pesawat uang mukanya Rp 80.000.
Jemaah yang memilih perjalanan haji via laut akan menghabiskan waktu total 70 hari. Sementara, bagi yang menggunakan jalur udara hanya 35 hari. Faktor ini pula yang menyebabkan lama kelamaan para jemaah memilih jalur udara.
Hal ini menyebabkan PT Arafat mengalami kemunduran.
Sejak 1970 hingga 1975, pemasukan dan keuangan dari PT Arafat tercatat menurun karena perpindahan pilihan jalur yang dipilih jemaah.
Jemaah calon haji menilai, haji udara lebih bisa menghemat waktu dan biaya.
Masalah lainnya, untuk mengangkut barang-barang jemaah haji, Arafat dibebankan maksimal hanya 200 ton. Padahal, kemampuan kapal Arafat lebih dari kapasitas tersebut.
Selain itu, ada persoalan sumber daya, di mana tenaga dan pelaut PT Arafat pindah ke perusahaan lain yang menjanjikan gaji lebih tinggi.
Akhirnya, melalui SK Menteri Perhubungan No SK-72/OT.001/Phb-79 pemerintah meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dan menetapkan bahwa penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan hanya menggunakan pesawat udara.