JAKARTA, KOMPAS.com - Saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra pernah mengatakan bahwa pegawai sampai pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dapat dituntut secara hukum apabila melakukan kekeliruan.
Kata-kata Yusril itu disampaikan dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 11 Februari 2004.
Hal itu diungkapkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan terhadap terdakwa mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Dalam persidangan, jaksa menampilkan hasil atau kesimpulan rapat terbatas pada 2004 lalu.
Baca juga: Menurut Boediono, Megawati Tak Salah Terbitkan Inpres untuk Penerima BLBI
Saat itu, Yusril mengatakan, ia sependapat dengan Kapolri bahwa tanggung jawab institusional BPPN tidak selesai begitu saja, meskipun telah dibubarkan.
Menurut jaksa Kiki Ahmad Yani, saat itu Yusril mengatakan bahwa BPPN dibentuk dalam keadaan darurat dan diberikan kewenangan yang luar biasa.
Meski demikian, tidak berarti bahwa pegawai eks BPPN punya hak imunitas dan tidak bisa dituntut secara pidana ke pengadilan.
Yusril juga mengatakan, kepolisan maupun kejaksaan telah melakukan penyelidikan, bahkan pemberkasan terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh para pegawai, staf atau konsultan yang disewa oleh BPPN.
Baca juga: Cerita Kwik Kian Gie Saat Megawati Setuju Terbitkan Inpres SKL BLBI
Keterangan Yusril dalam rapat terbatas itu kemudian dikonfirmasi oleh jaksa kepada saksi Boediono selaku mantan Menteri Keuangan.
Boediono membenarkan adanya kata-kata Yusril tersebut.
"Kalau itu dokumen tertulis, saya kira saya menerima (benar)," kata Boediono.
Adapun, Yusril saat ini merupakan pengacara yang mendampingi terdakwa Syafruddin Temenggung.
Baca juga: Alasan Kwik Kian Gie Tolak Keputusan Megawati dan Pendapat Kabinet soal SKL BLBI
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004.
Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan misrepresentasi dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.