Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan Kritis Kontras Terkait Pasal Penyiksaan dalam RKUHP

Kompas.com - 26/06/2018, 23:35 WIB
Reza Jurnaliston,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia mengatakan, pihaknya memberi catatan kritis terkait rumusan pasal penyiksaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut Kontras, RKUHP hanya menyebutkan definisi penyiksaan. Namun, RKUHP tidak mendefinisikan secara khusus mengenai penghukuman terhadap bentuk pelanggaran kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi Anti-Penyiksaan

"Dalam RKUHP ada semacam oase karena telah ada definisi terkait dengan penyiksaan. Akan tetapi tidak ada penjelasan (penghukuman) lebih spesifik dalam RKUHP," ujar Putri, Selasa (26/5/2018).

Putri melanjutkan, Pemerintah Indonesia telah ikut meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan dan Perbuatan Tidak Manusiawi Lainnya atau Convention Against Torture (CAT) pada 28 September 1998, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Meski Indonesia telah meratifikasi CAT dan instrumen lain, menurut Putri, praktik-praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya masih terus terjadi di Indonesia.

Baca juga: Komnas HAM: DPR Salah Tempat Jika Atur Tindak Pidana HAM di RKUHP

Selain itu, tutur Putri, RKUHP juga hanya mengatur tentang hukuman pidana terhadap pelaku langsung, namun tanpa mengatur secara jelas penghukuman bagi pelaku tidak langsung.

Salah satu contoh penghukuman tidak langsung adalah bentuk pertanggungjawaban atasan atau yang bersifat komando.

"Jadi yang diatur (dalam RKUHP) mereka yang melakukan penyiksaan saja," kata dia.

Ia menuturkan, banyak kasus yang didokumentasi Kontras terkait penyiksaan yang tidak dapat dilaporkan. Hal tersebut, disebabkan oknum polisi yang melakukan penyiksaan saat menangani suatu kasus, berbeda dengan penyidik yang menangani kasus.

"Saat integorasi berbeda dengan penyidiknya, karena kalau disiksa oleh penyidik akan tahu namanya siapa, bisa melaporkan yang bersangkutan," tutur dia.

"Banyak kasus yang melakukan penyiksaan itu (oknum) anggota polisi lain dari unit lain," kata Putri.

Dengan demikian, Kontras menilai penghukuman terhadap atasan akan menghukum pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya penyiksaan.

Baca juga: Berdasarkan RKUHP, Hanya Pelaku Lapangan yang Diadili Terkait Pelanggaran HAM

Putri melanjutkan, masalah lain adalah terkait ancaman hukuman pelaku yang melakukan tindak pidana penyiksaan. Hukuman dinilai ringan dan tak memberikan efek jera.

"Ancaman hukuman di RKUHP maksimal cuma 15 tahun penjara," tutur dia.

Menurut Putri, ancaman hukuman yang diatur dalam RKUHP lebih ringan dibanding rekomendasi dari Komite Anti-Penyiksaan untuk menentang penyiksaan yang menyebutkan 6 tahun sampai dengan 20 tahun penjara terhadap pelaku praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Terakhir, papar Putri, terkait dengan penerapan pasal tentang kedaluwarsa dalam tindak pidana penyiksaan dalam RKUHP.

Putri menilai, aturan kedaluwarsa dalam RKUHP bertentangan dengan norma hukum internasional (Konveksi Anti Penyiksaan) yang menyebutkan bahwa praktik penyiksaan merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM yang dianggap serius.

Adapun, Undang-Undang Pengadilan HAM bersifat retroaktif atau tidak memiliki masa kedaluwarsa.

Kompas TV Presiden Joko Widodo mengundang pakar hukum ke Istana Presiden pada Rabu (28/2) kemarin untuk melakukan diskusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com