Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Mengapa Daulat Rakyat Menentukan Pemimpin Daerahnya Mesti Direnggut?"

Kompas.com - 11/04/2018, 11:07 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan, perdebatan terkait mekanisme pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD adalah diskursus yang sudah tuntas pada 2014.

Pada saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden menghentikan perdebatan itu dengan mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014.

"Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah (lewat DPRD) kembali diperdebatkan, ini adalah langkah mundur," kata Titi dalam keterangan resminya kepada Kompas.com, Selasa (11/4/2018).

(Baca juga : Pemerintah dan DPR Wacanakan Kembalikan Pilkada Lewat DPRD)

Ia menganggap, mencuatnya wacana itu justru semakin memperkeruh pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Titi menegaskan, agar DPR dan pemerintah melakukan evaluasi terhadap persoalan yang muncul di dalam sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Dengan demikian, DPR dan Pemerintah bisa melakukan perbaikan terhadap beberapa kelemahan tersebut.

Terkait dengan alasan biaya politik yang tinggi di dalam pemilihan kepala daerah, Titi menganggap, alasan tersebut perlu dilihat secara serius, apakah persoalan ini berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung.

"Dari fakta yang terjadi, biaya politik yang tinggi, justru dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk hal-hal sudah dilarang di dalam UU Pilkada," kata dia.

(Baca juga : Zulkifli Hasan Setuju Pilkada Dikembalikan ke DPRD)

Titi menyoroti biaya untuk membayar uang pencalonan atau mahar politik kepada partai untuk proses pencalonan.

Ia mengakui, penyerahan uang kepada partai adalah sesuatu realitas yang tak bisa dibantah di dalam pencalonan kepala daerah.

Padahal, ketentuan memberikan uang kepada partai politik atau partai politik menerima uang terkait proses pencalonan kepala daerah ini sudah diancam sanksi di dalam UU Pilkada.

"Lalu, ketika biaya politik tinggi itu disebabkan oleh partai politik, dan perilaku oknum kepala daerah sendiri, mengapa daulat rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya yang mesti direnggut?" katanya.

Perludem melihat, pemahaman elite politik atas wacana ini cenderung tidak tepat. Ia khawatir wacana ini bisa berdampak buruk dan menghasilkan kekeliruan.

(Baca juga : PKS Sepakat untuk Setujui Pilkada Dikembalikan ke DPRD)

Titi menyarankan agar DPR dan Pemerintah lebih produktif jika melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah.

"Mereka harus melihat berdasarkan pendekatan evaluatif yang konstruktif dari pengalaman tiga kali pilkada transisi ini Pilkada 2015, Pilkada 2017 dan Pilkada 2018," katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bantah Minta Rp 200 Juta untuk Renovasi Kamar, Anak SYL: Enggak Pernah Terima Angka Segitu Fantastis

Bantah Minta Rp 200 Juta untuk Renovasi Kamar, Anak SYL: Enggak Pernah Terima Angka Segitu Fantastis

Nasional
Akui Minta Rp 111 Juta untuk Aksesoris Mobil, Anak SYL: Saya Ditawari

Akui Minta Rp 111 Juta untuk Aksesoris Mobil, Anak SYL: Saya Ditawari

Nasional
Saksi Ungkap soal Grup WhatsApp Bernama 'Saya Ganti Kalian' di Era SYL

Saksi Ungkap soal Grup WhatsApp Bernama "Saya Ganti Kalian" di Era SYL

Nasional
Jokowi Bakal Tinjau Langsung Pengelolaan Blok Rokan Pekan Ini

Jokowi Bakal Tinjau Langsung Pengelolaan Blok Rokan Pekan Ini

Nasional
Soal Jampidsus Dikuntit Densus 88, Anggota Komisi III DPR: Tak Mungkin Perintah Institusi

Soal Jampidsus Dikuntit Densus 88, Anggota Komisi III DPR: Tak Mungkin Perintah Institusi

Nasional
SYL Disebut Pernah Perintahkan Kirimkan Bunga dan Kue Ulang Tahun untuk Pedangdut Nayunda Nabila

SYL Disebut Pernah Perintahkan Kirimkan Bunga dan Kue Ulang Tahun untuk Pedangdut Nayunda Nabila

Nasional
UKT Batal Naik, Stafsus Jokowi Dorong Dasar Hukumnya Segera Dicabut

UKT Batal Naik, Stafsus Jokowi Dorong Dasar Hukumnya Segera Dicabut

Nasional
Pemilu 2024, Menghasilkan Apa?

Pemilu 2024, Menghasilkan Apa?

Nasional
20 Tahun Perkara yang Ditangani KPK Terancam Tidak Sah gara-gara Putusan Gazalba Saleh

20 Tahun Perkara yang Ditangani KPK Terancam Tidak Sah gara-gara Putusan Gazalba Saleh

Nasional
Ditawari oleh Anak SYL, Wambendum Nasdem Akui Terima Honor Rp 31 Juta Saat Jadi Stafsus Mentan

Ditawari oleh Anak SYL, Wambendum Nasdem Akui Terima Honor Rp 31 Juta Saat Jadi Stafsus Mentan

Nasional
Di Sidang SYL, Partai Nasdem Disebut Bagikan 6.800 Paket Sembako Pakai Uang Kementan

Di Sidang SYL, Partai Nasdem Disebut Bagikan 6.800 Paket Sembako Pakai Uang Kementan

Nasional
Narkopolitik, Upaya Caleg PKS Lolos Jadi Anggota Dewan di Aceh Tamiang

Narkopolitik, Upaya Caleg PKS Lolos Jadi Anggota Dewan di Aceh Tamiang

Nasional
Cucu SYL Bantah Pakai Uang Kementan untuk Biayai Perawatan Kecantikan, tapi...

Cucu SYL Bantah Pakai Uang Kementan untuk Biayai Perawatan Kecantikan, tapi...

Nasional
Ahmad Sahroni Disebut Kembalikan Uang Kementan Rp 820 Juta untuk NasDem Usai Diminta KPK

Ahmad Sahroni Disebut Kembalikan Uang Kementan Rp 820 Juta untuk NasDem Usai Diminta KPK

Nasional
Anak SYL Akui Terbiasa Terima Fasilitas Tiket Pesawat dari Kementan, Hakim: Tahu Tidak Itu Kebiasaan Buruk?

Anak SYL Akui Terbiasa Terima Fasilitas Tiket Pesawat dari Kementan, Hakim: Tahu Tidak Itu Kebiasaan Buruk?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com