Reforma agraria harus dimulai dengan pendataan tanah secara menyeluruh. Dari situ maka pemerintah akan memiliki gambaran tentang ketimpangan kepemilikan tanah.
Setelah punya gambaran, pemerintah bisa menentukan, siapa yang perlu mendapatkan tanah, siapa yang perlu tanahnya dikurangi akibat kelebihan kepemilikan. Skemanya bisa lewat ganti rugi bila itu tanah hak milik, atau penyerahan langsung kalau itu tanah negara.
Pasca proses tersebut, barulah pemerintah bisa melakukan sertifikasi tanah. Jadi sertifikasi tanah dilakukan pada bagian akhir reforma agraria, bukan di awal.
Apa dampak bila sertifikasi tanah dilakukan di awal? Kebijakan itu justru melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah itu sendiri. Bila hal itu terjadi, maka tujuan reforma agraria untuk menyudahi ketimpangan kepemilikan tanah tidak tercapai.
"Bayangkan saya punya 100 meter, kamu punya 100 ribu hektar tanah, sama-sama disertifikat. Bukan kah itu justru melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah?," kata Iwan, Rabu (21/3/2018).
Diprioritaskan untuk Rakyat
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengingatkan pentingnya standar luasan tanah bila pemerintah memang berniat melakukan reforma agraria secara menyeluruh.
Jangan sampai, tutur dia, rakyat diberikan sertifikasi tanah namun luas tanahnya tidak ideal atau jauh dari luas minimal 2 hektar tanah garapan untuk petani. Hal ini akan sangat berpengaruh kepada kesejahteraan petani.
(Baca juga: Jokowi Serahkan Sertifikat Tanah Seluas 2,4 Hektare ke Keluarga Tokoh Pers)
Meski begitu, Dewi juga mengungkapkan bahwa luas minimal 2 hektar tanah akan sulit diterapkan di Jawa lantaran ketersediaan tanah yang terbatas dan jumlah penduduk yang sangat padat.
Salah satu jalan agar reforma agraria berjalan dan petani mendapatkan luasan lahan yang tidak jauh dari luas minimum yakni dengan melepas kawasan hutan atau tanah yang HGU-nya habis untuk rakyat.
"Tanah itu bisa didistribusikan ke petani yang punya tanahnya kecil-kecil tadi," kata dia.
Saat ini ada 33.000 desa yang berada dalam kawasan hutan. Bila berniat menjalankan reforma agraria, maka pemerintah bisa memulai dengan lepaskan tanah desa itu dari kawasan hutan.
Dengan kondisi saat ini, rakyat di 33.000 desa itu setiap saat bisa terusir dari desanya karena tanahnya masih tanah hutan.
(Baca juga: Menko Darmin: BPN Terbitkan Sertifikat Tanah Lebihi Target 5 Juta)
Kini sudah seharusnya pelepasan kawasan hutan diprioritaskan untuk rakyat, bukan kepada perusahaan perkebunan, pertambangan, atau lainnya.
Dengan berbagai sumbar daya yang ada, mulai dari dana desa Rp 60 triliun per tahun, kredit usaha rakyat (KUR) yang sudah lebih dari Rp 100 triliun, hingga dana pertanian, maka reforma agraria akan menghasilkan dampak besar untuk masyarakat desa.
Desa diyakini tidak akan lagi dikenal sebagai penyuplai tenaga kerja murah ke luar negeri. Indonesia justru bisa melompat jauh dan titik awal lompatan itu berawal dari desa.
Jangan lagi mereduksi reforma agraria sebatas sertifikasi tanah semata. Jadikan kritik sebagai pelecut. Bekerja sungguh-sunguh dan kembalikan reforma agraria ke relnya.